Kamis, 04 November 2010

Still Marry Me

Still Marry Me adalah drama korea yang dirilis pada tanggal 20 Januari 2010. Sinopsis Still Marry Me bercerita tentang kisah cinta pasangan beda usia. Drama ini dibintangi oleh idola remaja saat ini, Kim Bum dan artis cantik korea Park Jin Hee. Cerita still marry me berkisah tentang tiga orang wanita berusia 30 tahunan yaitu Lee Shin Young, Jeong Da-jeong, Kim Bu-gi. Inti cerita tidak lepas dari tokoh utama yaitu Lee Shin Young (Park Jin Hee) yang ingin mengakhiri masa lajangnya, dia telah meraih segalanya kecuali sebuah pernikahan.
Di usianya yang telah menginjak 36 tahun, Lee Shin Young bertemu dengan Ha Min-Jae (Kim Bum), seorang mahasiswa sebuah univesitas terkenal yang berbakat di bidang musik. Ha Min-Jae adalah sosok yang keren dan menarik hati setiap gadis. Lee Shin Young dan Ha Min-Jae saling jatuh hati dan kemudian mereka berkencan. Dengan adanya perbedaan usia tentu menimbulkan masalah. Terlebih lagi ibu Ha Min-Jae sangat tidak menyetujui jika sang anak berpacaran dengan wanita yang lebih tua.
Cerita semakin menarik ketika ibu Ha Min-Jae jatuh hati kepada Yoon Sang Woo yang tidak lain adalah mantan tunangan Lee Shin Young. Sinopsis Still Marry Me dan cerita yang dikemas membuat drama ini wajib ditonton. Drama ini merupakan sekuel dari The Woman Who Wants to Marry (2004). Pemeran dan cerita berbeda kecuali tokoh utamanya yaitu Lee Shin Young.

Minggu, 06 Desember 2009

Tahun 2050 Glestser di Pegunungan Alpen Akan Meleleh

Ilmuwan Austria memperingatkan, bahwa gletser di Pegunungan Alpen akan habis meleleh pada 2050 mendatang.


Ilmuwan Austria memperingatkan, bahwa pada 2050 mendatang gletser di Pegunungan Alpen akan habis mencair, dan akan menimbulkan kerugian yang sulit diduga pada seluruh daratan Eropa. Ini merupakan contoh terbaru dari pemanasan global. Setengah sebelumnya, ilmuwan mendapati peristiwa retaknya kerangka es terbesar di kawasan kutub utara Kanada, dan menurut mereka, bahwa semua ini adalah akibat pemanasan global.

Menurut laporan Reuters, bahwa obyek wisata Alpbach di Provinsi Alps, Austria, setiap tahun selalu mengadakan forum tentang masalah ekologi dan lingkungan setempat.

Dalam forum tersebut para ilmuwan menyatakan, bahwa sampai pada tahun 2050 mendatang gletser di Pegunungan Alpen akan meleleh semuanya.

Hasil penelitian ilmuwan Rolland Phursenna dari Institut Geologi Universitas, Austria mendapati, bahwa voluma gletser di atas Pegunungan Alpen yang berada di wilayah Provinsi Alps, Austria tengah menyusut dalam skala kurang lebih 3% setiap tahunnya, dan ketebalannya juga berkurang hingga sekitar 1 meter.

Ketebalan rata-rata gletser di Pegunungan Alpen saat ini adalah 30 meter, Phursenna mengatakan, prediksi lenyapnya glestser pada 2050 mendatang adalah perkiraan konservatif, jika lumeran gletser meleleh berdasarkan kecepatan saat ini, maka sebagian besar gletser akan lenyap sebelum 2037.

Phursenna menuturkan, kami yakin, bila sampai pada 2050 nanti, selain beberapa gletser yang berada 4.000 meter lebih di atas permukaan laut akan tetap eksis, gletser lainnya akan lenyap.
Sejak Februari tahun lalu, hasil pengukuran peneliti dari Akademi Ilmu Pengetahuan Swiss menunjukkan, bahwa sejak 1985-2000, gletser di daerah Pegunungan Alpen rata-rata berkurang 22%. Hal ini disebabkan perubahan iklim, kemarau dan faktor lain yang mengakibatkan melumernya gletser dalam skala luas.

Selain itu, lapisan es di Kutub Utara dan Selatan juga mencair, ketebalan lapisan es di kedua kutub telah menurun hingga pada titik terendah selama 1 abad terakhir. Jika lapisan es di kedua kutub tersebut mencair, maka itu akan menjadi sebuah bencana besar bagi warga dan negara di kawasan dataran rendah.

Indikasi ini menunjukkan, bahwa pemanasan global kian hari semakin parah, karena itu, dalam forum kali ini, para ahli tidak terlalu membahas masalah pemanasan global, tapi menghimbau mengambil langkah-langkah konkret untuk melindungi warga di daerah pegunungan Alpen. Sebab lumeran gletser dapat mengakibatkan banjir, sehingga mengancam keselamatan warga setempat.

Ilmuwan menuturkan, bahwa lumernya gletser menyebabkan banjir di kawasan Pegunungan Alpen, dan ancaman banjir bagi penduduk yang tinggal di lembah Pegunungan Alpen semakin besar, para ilmuwan menghimbau agar segera mengambil tindakan pencegahan untuk menjamin keselamatan mereka.

Selain itu, sejumlah besar sungai di Eropa yang berasal dari pegunungan tersebut akan menjadi masalah serius bagi Eropa jika gletser di pegunungan tersebut mencair sepenuhnya.

Pada awal Januari lalu, majalah bulanan (manuskrip pembaca) Amerika pernah melaporkan, Pegunungan Alpen menduduki 190.000 km persegi daerah jantung Eropa, selama ratusan tahun terus dieksplorasi, dan hingga kini hanya 17% areal yang di rancang menjadi daerah lindung taman umum.

Gunung Alpen yang tampak di layar televisi seperti tidak berpenghuni itu sebetulnya terdapat 14 juta penduduk di sana, 2/3 di antaranya berpusat di kawasan tersebut, sebagian besar daerah lembah Pegunungan Alpen tampak seperti “taman pemandangan besar” : pabrik, jalan kereta api, hotel, hunian, gereja, tempat parkir, tempat timbunan kayu, kedai, restoran dan toko serta instalasi lain yang merangkai dengan jalan utama yang bergelombang berkelok-kelok. Eksplorasi manusia yang berlebihan dan lenyapnya gletser serta beban transpor dan masalah lain telah membuat letih lelah gunung besar tersebut.


Katanya pas tahun 2050 tuh di Pegunungan Alpen tuh akan meleleh. Tapi kita tetap gak boleh takut dan berfikiran yg negative tentang ini. Lebih baik kita ikut mencegah agar di Pegunungan Alpen tuh gak jadi meleleh. Dengan cara ikut serta dalam anti global warming. OK.

Kamis, 19 November 2009

Selasa, 10 November 2009

Usul Fiqh

Bab 1 : Pengertian Jinayat

Jinayah menurut fuqaha’ ialah perbuatan atau perilaku yang jahat yang dilakukan oleh seseorang untuk mencerobohi atau mencabul kehormatan jiwa atau tubuh badan seseorang yang lain dengan sengaja.

Penta`rifan tersebut adalah khusus pada kesalahan-kesalahan bersabit dengan perlakuan seseorang membunuh atau menghilangkan anggota tubuh badan seseorang yang lain atau mencederakan atau melukakannya yang wajib di kenakan hukuman qisas atau diyat.

Kesalahan-kesalahan yang melibatkan harta benda, akal fikiran dan sebagainya adalah termasuk dalam jinayah yang umum yang tertakluk di bawahnya semua kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud, qisas, diyat atau ta`zir.

Faedah dan manafaat daripada Pengajaran Jinayat :-

1) Menjaga keselamatan nyawa daripada berlaku berbunuhan sesama sendiri dan sebagainya

2) Menjaga keamanan maruah di dalam masyarakat daripada segala fitrah tuduh-menuduh.

3) Menjaga keamanan maruah di dalam harta benda dan nyawa daripada kecurian, ragut dan lain-lain.

4) Berhubung dengan keamanan negara dan menyelenggarakan keselamatan diri.

5) Perkara yang berhubung di antara orang-orang Islam dengan orang-orang kafir di dalam negara Islam Pembunuhan

Bab 2 : Bentuk Hukuman Yang Dikenakan Ke Atas Penjenayah

Mengikut peruntukan hukum syara` yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith dan yang dikuatkuasakan dalam undang-undang jinayah syar`iyyah, penjenayah-penjenayah yang didakwa di bawah kes jinayah syar`iyyah apabila sabit kesalahannya di dalam mahkamah wajib dikenakan hukuman hudud, qisas, diyat atau ta`zir.

Hukuman-hukuman ini adalah tertakluk kepada kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh penjenayah-penjenayah tersebut.

1. Hukuman Hudud

Hukuman hudud adalah hukuman yang telah ditentukan dan ditetapkan Allah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith. Hukuman hudud ini adalah hak Allah yang bukan sahaja tidak boleh ditukar ganti hukumannya atau diubahsuai atau dipinda malah tidak boleh dimaafkan oleh sesiapapun di dunia ini. Mereka yang melanggar ketetapan hukum Allah yang telah ditentukan oleh Allah dan RasulNya adalah termasuk dalam golongan orang yang zalim. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Dan sesiapa yang melanggar aturan-aturan hukum Allah maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Surah Al-Baqarah, 2:229).

Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman hudud ialah:

a) Berzina, iaitu melakukan persetubuhan tanpa nikah yang sah mengikut hukum syara`.

b) Menuduh orang berzina (qazaf), iaitu membuat tuduhan zina ke atas orang yang baik lagi suci atau menafikan keturunannya dan tuduhannya tidak dapat dibuktikan dengan empat orang saksi.

c) Minum arak atau minuman yang memabukkan sama ada sedikit atau banyak, mabuk ataupun tidak.

d) Mencuri, iaitu memindahkan secara sembunyi harta alih dari jagaan atau milik tuannya tanpa persetujuan tuannya dengan niat untuk menghilangkan harta itu dari jagaan atau milik tuannya.

e) Murtad, iaitu orang yang keluar dari agama Islam, sama ada dengan perbuatan atau dengan perkataan, atau dengan i`tiqad kepercayaan.

f) Merompak (hirabah), iiatu keluar seorang atau sekumpulan yang bertujuan untuk mengambil harta atau membunuh atau menakutkan dengan cara kekerasan.

g) Penderhaka (bughat), iaitu segolongan umat Islam yang melawan atau menderhaka kepada pemerintah yang menjalankan syari`at Islam dan hukum-hukum Islam.

2. Hukuman Qisas

Hukuman qisas adalah sama seperti hukuman hudud juga, iaitu hukuman yang telah ditentukan oleh Allah di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith. Hukuman qisas ialah kesalahan yang dikenakan hukuman balas.

Membunuh dibalas dengan bunuh (nyawa dibalas dengan nyawa), melukakan dibalas dengan melukakan, mencederakan dibalas dengan mencederakan.

Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman qisas ialah:

a) Membunuh orang lain dengan sengaja.

b) Menghilangkan atau mencederakan salah satu anggota badan orang lain dengan sengaja.

c) Melukakan orang lain dengan sengaja. Hukuman membunuh orang lain dengan sengaja wajib dikenakan hukuman qisas ke atas si pembunuh dengan dibalas bunuh. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Wahai orang-orang yang beriman, diwajibkan kamu menjalankan hukuman qisas (balasan yang seimbang) dalam perkara orang-orang yang mati dibunuh.” (Surah Al-Baqarah, 2:178)

Hukuman menghilangkan atau mencederakan salah satu anggota badan orang lain atau melukakannya wajib dibalas dengan hukuman qisas mengikut kadar kecederaan atau luka seseorang itu juga mengikut jenis anggota yang dicederakan dan dilukakan tadi.

Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Dan Kami telah tetapkan atas mereka di dalam kitab Taurat itu, bahawasanya jiwa dibalas dengan jiwa, dan mata dibalas dengan mata, dan hidung dibalas dengan hidung, dan telinga dibalas dengan telinga, dan gigi dibalas dengan gigi, dan luka-luka juga hendaklah dibalas (seimbang). Tetapi sesiapa yang melepaskan hak membalasnya, maka menjadilah ia penebus dosa baginya. Dan sesiapa yang tidak menghukum dengan apa yang telah diturunkan oleh Allah, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (Surah Al-Ma’idah: 45)

3. Hukuman Diyat

Hukuman diyat ialah harta yang wajib dibayar dan diberikan oleh penjenayah kepada wali atau waris mangsanya sebagai gantirugi disebabkan jenayah yang dilakukan oleh penjenayah ke atas mangsanya. Hukuman diyat adalah hukuman kesalahan-kesalahan yang sehubungan dengan kesalahan qisas dan ia sebagai gantirugi di atas kesalahan-kesalahan yang melibatkan kecederaan anggota badan atau melukakannya.

Kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman diyat ialah:

a) Pembunuhan yang serupa sengaja.

b) Pembunuhan yang tersalah (tidak sengaja).

c) Pembunuhan yang sengaja yang dimaafkan oleh wali atau waris orang yang dibunuh. Firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Maka sesiapa (pembunuh) yang dapat sebahagian keampunan dari saudaranya (pihak yang terbunuh) maka hendaklah (orang yang mengampunkan itu) mengikut cara yang baik (dalam menuntut ganti nyawa), dan si pembunuh pula hendaklah menunaikan (bayaran ganti nyawa itu) dengan sebaik-baiknya. Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu serta satu rahmat kemudahan. Sesudah itu sesiapa yang melampaui batas (untuk membalas dendam pula) maka baginya azab siksa yang tidak terperi sakitnya.” (Surah Al-Baqarah, 2:178)

4. Hukuman Ta`zir

Hukuman ta`zir ialah kesalahan-kesalahan yang hukumannya merupakan dera, iaitu penjenayah-penjenayah tidak dijatuhkan hukuman hudud atau qisas. Hukuman ta`zir adalah hukuman yang tidak ditentukan kadar atau bentuk hukuman itu di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith.

Hukuman ta`zir adalah dera ke atas penjenayah-penjenayah yang telah sabit kesalahannya dalam mahkamah dan hukumannya tidak dikenakan hukuman hudud atau qisas kerana kesalahan yang dilakukan itu tidak termasuk di bawah kes yang membolehkannya dijatuhkan hukuman hudud atau qisas.

Jenis, kadar dan bentuk hukuman ta`zir itu adalah terserah kepada kearifan hakim untuk menentukan dan memilih hukuman yang patut dikenakan ke atas penjenayah-penjenayah itu kerana hukuman ta`zir itu adalah bertujuan untuk menghalang penjenayah-penjenayah mengulangi kembali kejahatan yang mereka lakukan tadi dan bukan untuk menyiksa mereka.

Bab 3 : Tujuan Hukuman Hudud, Qisas, Diyat dan Ta’zir

Hukuman hudud, qisas, diyat dan ta`zir diperuntukkan dalam qanun jinayah syar`iyyah adalah bertujuan untuk menjaga prinsip perundangan Islam yang tertakluk di bawahnya lima perkara:

1. Menjaga agama, iaitu menjaga aqidah orang-orang Islam supaya tidak terpesong dari aqidah yang sebenar dan tidak menjadi murtad. Orang yang murtad akan disuruh bertaubat terlebih dahulu dan sekiranya dia enggan bertaubat maka hukuman bunuh akan dikenakan ke atas mereka. Sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud:

“Sesiapa yang menukar agamanya (murtad), maka bunuhlah dia.” (Riwayat Bukhari)

2. Menjaga nyawa, iaitu menjaga jiwa seseorang dari dibunuh termasuklah menjaga anggota tubuh badan seseorang dari dicederakan atu dirosakkan. Sesiapa yang membunuh manusia atau mencederakan anggota tubuh badan mereka itu dengan sengaja wajib dijatuhkan hukuman qisas atau diyat sebagaimana firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Dan di dalam hukum qisas itu ada jaminan hidup bagi kamu, wahai orang-orang yang berakal fikiran supaya kamu bertaqwa.” (Surah Al-Baqarah, 2:179)

3. Menjaga akal fikiran, iaitu memelihara akal fikiran manusia dari kerosakan disebabkan minum arak atau minuman-minuman yang memabukkan. Mereka yang meminum arak wajib dijatuhkan hukuman sebat tidak lebih dari lapan puluh kali sebat sebagaimana yang telah diriwayatkan oleh Saiyidina Ali di dalam sebuah hadith yang bermaksud:

“Rasulullah s.a.w. telah menyebat orang yang minum arak sebanyak empat puluh kali sebat, dan Saiyidina Abu Bakar telah menyebat empat puluh kali sebat juga, dan Saiyidina Umar menyebat sebanyak lapan puluh kali .

4. Menjaga keturunan, iaitu memelihara manusia dari melakukan perzinaan supaya nasab keturunan, perwalian dan pewarisan anak-anak yang lahir hasil dari persetubuhan haram itu tidak rosak. Orang yang melakukan perzinaan wajib dijatuhkan hukum sebat dan rejam sebagaimana sabda Rasulullah s.a.w. dalam hadithnya yang diriwayatkan daripada `Ubadah bin As-Somit r.a. yang bermaksud:

“Ambillah peraturan daripada aku, ambillah peraturan daripada aku. Sesungguhnya Allah telah memberi jalan untuk mereka. Perawan dengan jejaka yang berzina hukumannya disebat sebanyak seratus kali sebat, dan dibuang negeri selama setahun. Dan janda dengan janda yang berzina hukumannya disebat sebanyak seratus kali sebat dan direjam.” (Riwayat Muslim dan Abu Daud)

5. Menjaga harta benda, iaitu memelihara harta benda manusia dari dicuri dan dirompak dengan menjatuhkan hukuman potong tangan ke atas pencuri, dan menjatuhkan hukuman mati atau potong tangan dan kaki kedua-duanya sekali atau dibuang negeri ke atas perompak. Hukuman ini tertakluk kepada cara rompakan itu dilakukan sebagaimana firman Allah s.w.t. yang bermaksud:

“Dan orang lelaki yang mencuri dan perempuan yang mencuri maka (hukumannya) potonglah tangan mereka sebagai satu balasan dengan sebab apa yang mereka telah usahakan, (juga sebagai) suatu hukuman pencegah dari Allah. Dan (ingatlah) Allah maha Kuasa lagi Maha Bijaksana.” (Surah Al-Ma’idah: 38)

Firman Allah s.w.t. lagi yang bermaksud:

“Sesungguhnya balasan orang-orang yang memerangi Allah dan RasulNya serta melakukan bencana kerosakan di muka bumi (melakukan keganasan merampas dan membunuh orang di jalan ) ialah dengan balasan bunuh (kalau mereka membunuh sahaja dengan tidak merampas), atau dipalang (kalau mereka membunuh dan merampas), atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan berselang (kalau mereka merampas sahaja, atau dibuang negeri (kalau mereka hanya mengganggu ketenteraman awam). Hukuman yang demikian itu adalah suatu kehinaan di dunia bagi mereka, dan di akhirat kelak mereka beroleh azab siksa yang amat besar.” (Surah Al-Ma’idah: 33)

Bab 5 : Zina

Ialah persetubuhan yang dilakukan oleh seorang lelaki dengan seorang perempuan tanpa nikah yang sah mengikut hukum syarak (bukan pasangan suami isteri) dan kedua-duanya orang yang mukallaf, dan persetubuhan itu tidak termasuk dalam takrif (persetubuhan yang meragukan).

Jika seorang lelaki melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan, dan lelaki itu menyangka bahawa perempuan yang disetubuhinya itu ialah isterinya, sedangkan perempuan itu bukan isterinya atau lelaki tadi menyangka bahawa perkahwinannya dengan perempuan yang disetubuhinya itu sah mengikut hukum syarak, sedangkan sebenarnya perkahwinan mereka itu tidak sah, maka dalam kes ini kedua-dua orang itu tidak boleh didakwa dibawah kes zina dan tidak boleh dikenakan hukuman hudud, kerana persetubuhan mereka itu adalah termasuk dalam wati’ subhah iaitu persetubuhan yang meragukan.

Mengikut peruntukan hukuman syarak yang disebutkan di dalam Al-Qur’an dan Al-Hadith yang dikuatkuasakan dalam undang-undang Qanun Jinayah Syar’iyyah bahawa orang yang melakukan perzinaan itu apabila sabit kesalahan di dalam mahkamah wajib dikenakan hukuman hudud, iaitu disebat sebanyak 100 kali sebat. Sebagaimana Firman Allah Subhanahu Wa Ta’ala yang bermaksud :

“Perempuan yang berzina dan lelaki yang berzina, hendaklah kamu sebat tiap-tiap seorang dari kedua-duanya 100 kali sebat, dan janganlah kamu dipengaruhi oleh perasaan belas kasihan terhadap keduanya dalam menjalankan hukum Agama Allah, jika benar kamu beriman kepada Allah dan hari Akhirat, dan hendaklah disaksikan hukuman siksa yang dikenakan kepada mereka itu oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman”. (Surah An- Nur ayat 2)

ZINA TERBAHAGI KEPADA DUA :

1. ZINA MUHSAN
2. ZINA BUKAN MUHSAN

ZINA MUHSAN

Iaitu lelaki atau perempuan yang telah pernah melakukan persetubuhan yang halal (sudah pernah berkahwin)

ZINA BUKAN MUHSAN

Iaitu lelaki atau perempuan yang belum pernah melakukan persetubuhan yang halal (belum pernah berkahwin).

Perzinaan yang boleh dituduh dan didakwa dibawah kesalahan Zina Muhsan ialah lelaki atau perempuan yang telah baligh, berakal, merdeka dan telah pernah berkahwin, iaitu telah merasai kenikmatan persetubuhan secara halal.

Penzinaan yang tidak cukup syarat-syarat yang disebutkan bagi perkara diatas tidak boleh dituduh dan didakwa dibawah kesalahan zina muhsan, tetapi mereka itu boleh dituduh dan didakwa dibawah kesalahan zina bukan muhsan mengikut syarat-syarat yang dikehendaki oleh hukum syarak.

HUKUMAN YANG DIKENAKAN KEATAS ORANG YANG ZINA MUHSAN DAN BUKAN MUHSAN

Seseorang yang melakukan zina Muhsan, sama ada lelaki atau perempuan wajib dikenakan keatas mereka hukuman had (rejam) iaitu dibaling dengan batu yang sederhana besarnya hingga mati. Sebagaimana yang dinyatakan di dalam kitab I’anah Al- Thalibin juzuk 2 muka surat 146 yang bermaksud :

”Lelaki atau perempuan yang melakukan zina muhsan wajib dikenakan keatas mereka had (rejam), iaitu dibaling dengan batu yang sederhana besarnya sehingga mati”.

Seseorang yang melakukan zina bukan muhsan sama ada lelaki atau perempuan wajib dikenakan ke atas mereka hukuman sebat 100 kali sebat dan buang negeri selama setahun sebagaimana terdapat di dalam kitab Kifayatul Ahyar juzuk 2 muka surat 178 yang bermaksud :

”Lelaki atau perempuan yang melakukan zina bukan muhsin wajib dikenakan keatas mereka sebat 100 kali sebat dan buang negeri selama setahun”.

PEREMPUAN YANG DI ROGOL DAN DI PERKOSA

Perempuan-perempuan yang dirogol atau diperkosa oleh lelaki yang melakukan perzinaan dan telah disabit dengan bukti –bukti yang diperlukan oleh syarak dan tidak menimbulkan sebarang keraguan dipihak hakim bahawa perempuan itu dirogol dan diperkosa, maka dalam kes ini perempuan itu tidak boleh dijatuhkan dan dikenakan hukuman hudud,dan ia tidak berdosa dengan sebab perzinaan itu.

Lelaki yang merogol atau memperkosa perempuan melakukan perzinaan dan telah sabit kesalahannya dengan bukti – bukti dan keterangan yang dikehendaki oleh syarak tanpa sebarang keraguan dipihak hakim, maka hakim hendaklah menjatuhkan hukuman hudud keatas lelaki yang merogol perempuan itu, iaitu wajib dijatuhkan dan dikenakan ke atas lelaki itu hukuman rejam dan sebat.

Perempuan-perempuan yang telah disabitkan oleh hakim bahawa ia adalah dirogol dan diperkosa oleh lelaki melakukan perzinaan, maka hakim hendaklah membebaskan perempuan itu dari hukuman hudud (tidak boleh direjam dan disebat) dan Allah mengampunkan dosa perempuan itu di atas perzinaan secara paksa itu.

Bab 6: Liwat

Liwat ialah melakukan persetubuhan di dubur, sama ada dubur lelaki atau dubur perempuan walaupun dubur isterinya sendiri.

Melakukan persetubuhan didubur hukumnya adalah haram dan sama seperti bersetubuh difaraj perempuan yang bukan isterinya, dan juga sama hukumannya dengan berzina. Mereka yang melakukan liwat, wajib dikenakan hukuman hudud, iaitu direjam sehingga mati, jika orang yang berliwat itu muhsin. Dan dikenakan hukuman sebat 100 kali sebat dan buang negeri selama setahun, jika berliwat dengan bukan muhsin.

(Kifayatul Ahyar juzuk 2 muka surat 111-112)

MUSAHAQAH (LESBIAN)

Melakukan sesuatu perbuatan untuk memuaskan nafsu seks diantara perempuan dengan perempuan dengan mengeselkan faraj dengan faraj mereka berdua hingga mendatangkan berahi dan merasa kelazatan dengan sebab pergeselan faraj diantara kedua-dua orang perempuan itu.

Musahaqah adalah suatu perbuatan yang haram dan wajib dikenakan hukuman takzir, dimana kesalahan musahaqah itu boleh disabitkan dengan bukti-bukti yang dikehendaki untuk mensabitkan kesalahan-kesalahan yang wajib dikenakan hukuman takzir. Dan kesalahan liwat hendaklah disabitkan kesalahan itu dengan bukti –bukti sebagaimana yang dikehendaki oleh syarak untuk membuktikan zina.

MENDATANGI BINATANG

Seseorang yang mendatangi binatang tidak boleh diistilahkan sebagai orang yang berzina. Perbuatan mereka itu boleh diistilahkan suatu perbuatan yang haram dan keji yang wajib dijatuhkan hukuman takzir.

BERSETUBUH DENGAN ORANG YANG TELAH MATI

Lelaki yang mensetubuhi perempuan yang telah mati yang bukan isterinya tidak boleh diistilahkan melakukan perzinaan, tetapi lelaki itu wajib dikenakan hukuman takzir. Begitu juga perempuan yang memasukkan zakar lelaki yang telah mati yang bukan suaminya ke dalam farajnya tidak boleh juga dikira sebagai berzina, tetapi perempuan itu wajib juga dikenakan hukuman takzir.

Oleh itu bagi perkara tersebut diatas lelaki dan perempuan itu tadi wajib dikenakan hukuman takzir sahaja dan tidak boleh dikenakan hukuman hudud.

BUKTI-BUKTI UNTUK MENSABITKAN KESALAHAN ZINA

Untuk mensabitkan seseorang itu bersalah dalam kes zina yang wajib dikenakan hukuman hudud mestilah dibuktikan dengan salah satu perkara-perkara berikut:-

i) Perzinaan itu mestilah disaksikan oleh empat orang saksi lelaki. Sebagaimana Firman Allah Taala yang bermaksud:

”Dan sesiapa yang melakukan perbuatan keji (zina) diantara perempuan-perempuan kamu maka carilah empat orang lelaki diantara kamu menjadi saksi terhadap perbuatan-perbuatan mereka”.
( Surah An-Nisaa’ – Ayat 15)

ii) Ikrar (pengakuan) daripada orang yang melakukan zina. Ikrar ini hendaklah dibuat dihadapan imam atau wakilnya seperti hakim atau kadhi.

iii) Qarinah, iaitu perkara-perkara yang menunjukkan berlaku perzinaan, misalnya hamil bagi perempuan-perempuan yang tidak bersuami, atau tidak diketahui perempuan itu ada suami.


KELAYAKAN SAKSI –SAKSI DALAM KES ZINA

Saksi-saksi yang layak untuk menjadi saksi dalam kes kesalahan berzina yang boleh diterima penyaksiannya ialah mereka yang memenuhi syarat-syarat berikut:-

1. 4 orang lelaki
2. Baligh, telah dewasa mengikut syarat-syarat yang ditentukan oleh syarak.
3. Berakal
4. Orang yang adil, iaitu tidak melakukan dosa besar dan dosa –dosa kecil.
5. Orang Islam
6. Saksi-saksi itu kesemuanya mestilah benar-benar melihat dengan matanya sendiri masuk kemaluan lelaki itu kedalam kemaluan perempuan itu seperti keris masuk kedalam sarungnya.
7. Keterangan saksi-saksi itu mestilah jelas, iaitu menerangkan secara hakiki masuk zakar lelaki itu ke dalam lubang faraj perempuan itu sebagaimana yang berlaku – bukan secara kiasan.
8. Saksi-saksi itu mestilah melihat sendiri perzinaan itu dilakukan dalam satu tempat yang tertentu dan dalam satu masa yang sama (tidak berlainan tempat dan masa).


( Rujukan Kitab – Kitab Mathla’al Badraian –
Syeikh Muhammad Daud Al-Fathani )

Bab 7: Qazaf

PENGERTIAN QAZAF

Pengertiannya ialah melimparkan tuduhan zina kepada orang yang baik lagi suci atau menafikan keturunanya.

PEMBAHAGIAN QAZAF

1.) Qazaf yang pesalah-pesalahnya boleh dikenakan hukuman hudud, seperti seseorang menuduh seseorang yang baik lagi suci berzina tanpa mengemukakan empat saksi lelaki yang adil.

2.) Qazaf yang pesalah-pesalahnya boleh dikenakan hukuman takzir seperti seseorang menuduh seseorang yang lain kufur, mencuri, minum arakatau murtad dan sebagainya, termasuk mencaci, memaki dan lain-lainnya yang boleh menjatuhkah marwah seseorang dan menghinanya.

Menuduh seseorang yang baik lagi suci berzina tanpa mengemukakan empat orang saksi lelaki yang adil hukumnya adalahharam dan termasuk dalam dosa besardan wajib dikenakan hukuman had Qazaf (sebat) sebanyak 80 kali sebat, dan tidak boleh diterima penyaksiannya selama-lamanya kerana dia adalah orang fasiq. Sebagaimana Firman Allah Taala yang bermaksud:

”Dan orang-orang yang melemparkan tuduhan zina kepada perempuan-perempuan yang terpelihara kehormatannya, kemudian mereka tidak membawa empat orang saksi. Maka sebatlah mereka 80 kali sebat, dan janganlah kamu terima persaksian mereka itu selama-lamanya kerana mereka itu adalah orang yang fasiq”.
(Surah An- Nur ayat 4)

PENUDUH YANG BOLEH DIKENAKAN HUKUMAN QAZAF

1. Berakal
2. Baligh
3. Kemahuan sendiri tidak dipaksa
4. Mengetahui haramnya Qazaf
5. Bukan ibu bapa dan datuk ke atas kepada orang yang dituduh.

Jika orang yang menuduh itu gila atau kanak-kanak yang belum baligh, tidak boleh dikenakan hukuman had Qazaf keatas mereka. Ini sebagaimana berdasarkan kepada hadith Rasulullah s.a.w. yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari yang bermaksud:

”Allah tidak akan menyiksa tiga golongan manusia, iaitu kanak-kanak sehingga ia baligh, orang yang tidur sehingga ia bangun dari tidurnya dan orang yang gila sehingga ia sembuh dari gilanya”.
(Riwayat Bukhari Fi Muslim)

CARA-CARA MELAKUKAN QAZAF

Dalam Qanun Jenayah Sayr’iyyah cara melakukan Qazaf terdapat tiga cara:

i) Tuduhan yang dibuat secara sarih (terang dan jelas), iaitu tuduhan yang menggunakan perkataan-perkataan yang jelas dan tepat yang tidak boleh ditafsirkan kepada maksud yang lain selain daripada zina dan penafian nasab (keturunan)

ii) Tuduhan yang dibuat secara kinayah (kiyasan), iaitu tuduhan yang menggunakan perkataan yang tidak jelas dan tidak tepat yang boleh membawa erti zina atau selainnya.

iii) Tuduhan yang dibuat secara ta’ridh (sindiran), iaitu tuduhan yang menggunakan perkataan yang tidak jelas dan tidak tepat juga yang boleh memberi pengertian yang lain daripadazina sebagaimana dilakukan dalam perkataan kinayah.

BUKTI-BUKTI YANG MENSABITKAN KESALAHAN QAZAF

Kesalahan Qazaf boleh disabitkan dengan salah satu dari bukti –bukti yang berikut:-

1. Syahadah (penyaksian)
2. Ikrar (pengakuan)
3. Yamin (sumpah)

Bab 8 : Minum Arak (Khamar)

PENGERTIAN ARAK

Arak ialah minuman yang memabukkan. Dalam bahasa Arab dinamakan khamar, berasal dari kata khamara ertinya menutupi. Seseorang yang minum arak atau khamar, biasanya ia mabuk, hilang akal fikirannya tertutup jalan kebenaran, dan ia lupakan dirinya dan lupakan Allah.

Minum arak hukumnya adalah haram, sama ada sedikit atau banyak, hukum mabuk atau pun tidak, kecuali ketika darurat, dan arak itu adalah najis ainnya. Firman Allah yang bermaksud :

”Wahai orang-orang yang beriman bahawa sesungguhnya arak dan judi, dan pemujaan berhala dan mengundi nasib dengan batang-batang anak panah, adalah semata-mata kotor (najis / keji) dari perbuatan syaitan. Oleh itu hendaklah kamu menjauhinya supaya kamu berjaya”.

(Surah Al- Maidah ayat 90)

HUKUM ORANG YANG MINUM ARAK

Dalam Qanun jenayah syar’iyyah, seseorang yang telah sabit kesalahan minum arak atau sebarang minuman yang memabukkan, sama ada dia mabuk atai tidak, wajib dikenakan hukuman sebat tidak lebih dari 80 kali sebat dan tidak tidak kurang dari 40 kali sebat. Hukuman ini adalah berdalilkan hadith Rasulullah s.a.w yang diriwayatkan daripada Ali bin Abi Thalib r.a yang bermaksud:

”Rasulullah s.a.w telah menyebat orang yang minum arak sebanyak 40 kali sebat, dan Saidina Abu Bakar telah menyebat sebanyak 40 kali sebat juga, dan Saidina Umar menyebat sebanyak 80 kali sebat. Semuanya adalah sunnah Rasulaullah s.a.w. dan inilah yang paling akau suka”.

KESABITAN KESALAHAN MINUM ARAK(KHAMAR)

Untuk mensabitkan kesalahan seseorang minum arak (khamar) adalah tertakluk dibawah tiga sebab:

i) Minuman yang diminum itu ialah khamar, iaitu minuman yang memabukkan dan yang menghilangkan akal fikiran manusia

ii) Orang yang meminum minuman itu mengetahui bahawa minuman yang diminum tadi memabukkan dan menutup akal fikiran.

iii) Sengaja melakukan kesalahan meminum minuman yang memabukkan.

Seseorang yang meminum minuman yang boleh memabukkan, dan ia tidak tahu bahawa dengan meminum minuman itu ia akan menjadi mabuk tidak boleh dikenakan hukuman had keatas orang yang meminum minuman itu, sekalipun dengan sebab meminum tadi ia menjadi mabuk.

PEMINUM ARAK YANG BOLEH DIKENAKAN HUKUM HADD

Orang yang melakukan kesalahan minum arak (khamar) yang wajib dikenakan hukuman hadd adalah tertakluk dibawah syarat-syarat berikut:

i) Baligh
ii) Berakal
iii) Kemahuan sendiri tanpa dipaksa oleh sesiapa
iv) Minuman itu masuk kedalam rongga melalui mulut


Kanak – kanak yang belum baligh atau orang yang gila yang minum arak (khamar) tidak boleh dikenakan hukuman hadd ke atas mereka, kerana perbuatan mereka itu tidak boleh dianggap sebagai perbuatan jenayah syar’iyyah yang boleh dikenakan hukuman hadd. Ini adalah berdalilkan hadith Rasulullah s.a.w. yang bermaksud:-

”Allah tidak akan menyiksa tiga golongan manusia, iaitu kanak-kanak sehingga ia baligh, orang yang tidur sehingga ia bangun dari tidurnya, dan orang yang gila sehingga ia sembuh dari gila’.

(Riwayat Bukhari dalam Sahih)

BUKTI-BUKTI YANG MENSABITKAN KESALAHAN MINUM ARAK (KHAMAR)

Bukti – bukti yang mensabitkan kesalahan seseorang itu minum arak (khamar) yang boleh dikenakan hukuman hadd adalah sebagaimana berikut:-

1) Syahadah (kesaksian)
2) Ikrar (pengakuan)

Kesalahan minum arak (khamar) boleh dibuktikan dengan keterangan lisan yang diberi oleh dua orang saksi atau dengan ikrar (pengakuan) yang dibuat oleh oarang yang dituduh itu dengan kerelaan dirinya sendiri tanpa paksaan dari mana-mana pihak.

Saksi-saksi dari pihak pendakwa atau penuduh mestilah terdiri dari dua orang lelaki yang mempunyai syarat-syarat yang cukup. Jika saksi-saksi itu semuanya terdiri dari orang-orang perempuan atau seorang lelaki berserta dengan beberapa orang perempuan, maka kesaksian mereka itu tidak boleh diterima dan tidak boleh disabitkan kesalahan orang yang dituduh tadi, kerana kesaksian mereka itu boleh mendatangkan keraguan.

Bab 9 : Mencuri (Sariqah)

PENCURI

Pencuri ialah mengambil harta orang lain dengan cara bersembunyi dan diambil daripada tempat pertaruhan (tempat yang layak untuk menyimpan harta itu). Mencuri itu adalah salah satu daripada dosa-dosa besar dan mewajibkan potong tangan ke atas si pencuri itu.
Sebagaimana dengan firman Allah yang bermaksud:

”Pencuri lelaki dan pencuri perempuan hendaklah kamu potong tangannya sebagai balasan pekerjaan, dari siksaan daripada Allah, Allah maha perkasa lagi maha bijaksana”

(Surah Al- Maidah ayat 38)

Sabda Rasulullah s.a.w. yang bermaksud:

”Tidak dipotong tangan seseorang pencuri itu kecuali seperempat dinar atau lebih daripada nilai wang mas”

(Riwayat Bukhari Muslim)

CIRI –CIRI PERBUATAN MENCURI

1. Memindahkan secara bersembunyi harta alih dari jangkaan atau milikan tuannya.
2. Pemindahan harta itu tanpa persetujuan tuannya.
3. Pemindahan harta itu dengan niat untuk menghilangkan harta tadi dari jangkaan atau milik tuannya.

HUKUMAN HUDUD YANG WAJIB DIKENAKAN KEATAS PENCURI

1) Mengikut peruntukkan hukum syarak yang dikuatkuasakan dalam Qanun jenayah syar’iyyah, orang yang boleh didakwa dibawah kesalahan kes sariqah (mencuri) dan wajib dikenakan hukuman hudud ialah:-

i) Orang yang berakal
ii) Orang yang baligh
iii) Dengan kemahuan sendiri

2) Pencuri yang gila atau kanak-kanak atau orang yang kurang akalnya (tidak siuman) tidak wajib dikenakan hukuman hudud, sekalipun mereka itu mengambil harta atau barangan orang itu secara bersembunyi dengan tujuan untuk memiliki harta atau barangan itu. Sebagaiman Hadirh Rasulullah s.a.w. yang bermaksud:-

”Allah tidak akan menyiksa tiga golongan manusia iaitu orang yang tidur hingga ia bangun dari tidurnya, kanak-kanak hingga ia baligh dan orang gila hingga ia berakal (siuman)”

(Riwayat Ahmad, Ashabi, Sunan dan Hakam)

3) Orang yang dipaksa mencuri dengan cara kekerasan, misalnya orang yang diancam dan diugut akan dibunuh jika tidak mahu mencuri. Sebagaimana hujjah Hadith Rasulullah s.a.w yang bermaksud:

”Sesungguhnya Allah menghapuskan dosa umatku yang tersalah, terlupa dan dosa mereka yang dipaksa melakukan sesuatu kesalahan”.

(Riwayat Ibnu Majah dan Baihaq’i dan Lain daripada keduanya)


4) Orang yang terpaksa mencuri disebabkan tersangat lapar (kebuluran) atau terlalu dahaga yang boleh membawa kepada maut tidak boleh juga dikenakan hukuman hudud, kerana mereka yang dalam keadaan tersebut adalah termasuk dalam darurat yang diharuskan oleh syarak melakukan perkara yang dilarang. Kes ini adalah merujuk kepada Kaedah Fiqhiyyah yang bermaksud :

” Darurat (dalam keadaan yang memaksa) diharuskan melakukan perkara yang dilarang”.

(Al- Ashbah dan An – Nazha’ir)

Dalam perkara (3) dan (4) mereka itu terlepas dari hukuman hudud, tetapi hakim boleh mengenakan hukuman takzir keatas pencuri itu mengikut kea’rifan dan kebijaksanaannya.

PENCURI YANG TIDAK BOLEH DIKENAKAN HUKUMAN KESALAHAN SARIQAH

Pencuri yang tidak boleh dikenakan hukuman kesalahan sariqah ialah :-

1) Pencurian yang dilakukan secara khianat, iaitu orang yang mengambil harta atau barangan yang diamanahkan kepadanya. Mereka yang melakukan kesalahan tersebut tidak boleh didakwa dibawah kes sariqah (mencuri) dan tidak boleh dikenakan hukuman hudud, tetapi mereka itu hendaklah didakwa di bawah kes kesalahan pecah amanah yang wajib dikenakan hukuman takzir.

2) Orang yang mengambil harta atau barangan orang lain dengan cara paksaan dan kekerasan.

3) Orang yang menyambar barangan orang lain sambil lalu, iaitu semasa berjalan atau atas kenderaan,termasuk juga penyelok saku.

4) Pencurian berlaku dimedan peperangan.

5) Mengambil buah yang tergantung di atas dahannya kerana tersangat lapar dan dahaga.

SABIT KESALAHAN MENCURI

1. Kesalahan mencuri boleh disabitkan dengan adanya salah satu dari bukti-bukti berikut:-

i) Ikrar (pengakuan)
ii) Keterangan dua orang saksi lelaki yang adil
iii) Sumpah yang mardud iaitu sumpah pencuri itu dikembalikan kepada orang yang mendakwa, jika orang yang didakwa tadi tidak mengaku, dimana mengikut keterangan orang yang mendakwa bahawa orang yang didakwa itu memang sebenarnya adalah mencuri.

2. Pencuri yang mengaku melakukan kesalahan mencuri memadai membuat pengakuan hanya sekali pengakuan sahaja dan pengakuan itu dibuat dimajlis dalam Mahkamah dihadapan hakim.

3. Untuk mempastikan kebenaran keterangan saksi-saksi bagi mensabitkan kesalahan seseorang itu mencuri, hakim hendaklah menyoal siasat saksi-saksi itu mengenai harta atau barangan yang dicuri, cara kecurian, tempat kecurian, masa kecurian dan lain-lainnya.

4. Hakim hendaklah juga menanyakan kepada saksi-saksi itu hubungan antara orang yang kena curi dangan orang yang mencuri.

PENCURI YANG DIKECUALIKAN DARII HUKUMAN HUDUD.

1) Jumlah nilai harta atau barangan yang dicuri itu kurang daripada satu perempat dinar atau tiga darham.

2) Untuk mensabitkan kesalahan mencuri itu tidak dapat dibuktikan mengikut yang dikehendaki.

3) Pencuri itu bukan orang yang mukallaf.

4) Tuan punya harta atau barang yang dicuri itu tidak menyimpan dan menjaga harta atau barangannya ditempat yang selamat daripada kena curi.

5) Pencuri itu belum lagi mendapat milik yang sepenuhnya keatas harta yang dicuri itu.

6) Harta atau barang yang dicuri itu bukan dari barangan yang berharga dan bernilai.

7) Harta atau barangan yang dicuri itu tidak memberi apa-apa faedah dan tidak bernilai mengikut hukum syarak seperti alat hiburan atau minuman yang memabukkan.

8) Pencurian yang dilakukan oleh orang yang memberi hutang ke atas harta atau barangan orang yang berhutang.

9) Pencurian yang berlaku itu dalam kedaan yang mendesak seperti didalam peperangan, dimasa sangat lapar dan dahaga.

10) Pencurian yang dilakukan oleh anak keatas harta atau barangan kepunyaan ibu bapanya hingga ke atas (datuk dan seterusnya).

11) Pencurian yang dilakukan oleh suami keatas harta atau barangan kepunyaan isterinya dan sebaliknya.

12) Pencuri itu mencuri harta atau barangan kepunyaan Baitul Mal.

HUKUMAN KERANA KESALAHAN MENCURI

Sesiapa yang melakukan kesalahan mencuri wajib dikenakan hukuman hudud sebagaimana yang dikehendaki oleh hukum syarak.

1) Mencuri kali pertama hendaklah dipotong tangan kanannya.
2) Mencuri kali yang kedua hendaklah dipotong kaki kirinya dan,
3) Mencuri kali ketiga dan berikutnya hendaklah dikenakan hukuman takzir dan dan dipenjarakan sehingga ia terbunuh.

Bab 4: Pembunuhan

1. Pembunuhan itu adalah satu daripada dosa-dosa besar sebagaimana firman Allah s.w.t yang bermaksud :-

“Sesiapa yang membunuh orang-orang mukmin dengan sengaja maka balasananya ialah neraka jahanam kekal didalamnya dan Allah murka dan mengutuknya dan disediakan azab yang berat untuknya.”
(Surah An-Nisa’a Ayat 93)

Firman Allah s.w.t yang bermaksud :-

” Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan ke atas kamu qisas (balasan yang sesuai dengan perbuatan) sebab membunuh orang.”

2. Cara-cara pembunuhan ada tiga cara :

1) Sengaja semata-semata

i) Membunuh dengan sengaja semata-mata. – Iaitu seseorang yang bertujuan untuk membunuh dengan menggunakan sesuatu alat yang boleh membunuh atau mematikan seseorang.

Hukumannya :- – Pembunuhan wajib dibalas dengan bunuh juga (qisas) kecuali ahli waris yang terbunuh memaafkan dengan membayar diyat mughallazah (denda yang berat) ataupun dimaafkan tanpa membayar diyat(denda) –

Syarat wajib qisas :-

1) Islam
2) Tiada dimaafkan oleh ahli waris

2) Tersalah semata-mata

- Iaitu pembunuhan yang tidak disengajakan sebagai contoh seseorang itu menembak binatang tetapi tertembak seseorang yang lain dan menyebabkan orang itu terbunuh.

Hukuman :-
Dikenakan islah tidak dikenakan qisas (balas bunuh) tetapi dia kena diyat mukhafafah (denda yang ringan). Diyat itu dibayar oleh adik-beradik pembunuh dan bayarannya boleh ditangguhkan selama tiga tahun. -

Firman Allah s.w.t yang bermaksud :-

“Sesiapa yang membunuh seseorang yang beriman dengan tidak disengajakan maka hendaklah dia memerdekakan seorang hamba yang beriman serta membayar diyat (denda) kepada ahli yang terbunuh.”

(Surah An-Nisa’a – Ayat 92)

3) Menyerupai semata-mata

- Iaitu seseorang yang memukul orang lain dengan sesuatu alat yang biasanya tidak boleh membunuh atau mematikan seperti ranting kayu dan mati dengan pukulan itu

. – Hukumannya:-
Islah tiada wajib qisas (balas bunuh) tetapi diwajibkan ke atas keluarga pembunuh membayar diyat mughallazah (denda yang berat) dengan secara beransur-ansur selama tiga tahun.

Sabtu, 29 Agustus 2009

Qisas

Qisas (bahasa arab: قصاص) adalah istilah dalam hukum islam yang berarti pembalasan, mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar nyawa". Dalam kasus pembunuhan hukum qisas memberikan hak kepada keluarga korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh. [1]

Dasarnya adalah: "Hai orang-orang yang beriman diwajibkan bagi kamu qishash atas orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Barangsiapa mendapat ma'af dari saudaranya, hendaklah yang mema'afkan mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik." [Al Baqarah:178]

"Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka pun ada Qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan hak Qisas, maka melepaskan hak itu jadi penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim." [Al Maa-idah:45]

Meski demikian dikatakan Al Qur'an bila hak Qisas dilepaskan oleh korban maka itu menjadi penebus dosa bagi mereka. Keluarga korban dapat memaafkan pembunuh dan meminta penebus dalam bentuk materi.

Qisas dipraktekkan di negara-negara yang menganut syariat Islam seperti Arab Saudi, Iran dan Pakistan

Jumat, 28 Agustus 2009

Qiyas

Qiyas Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam

1. Pengertian qiyas

Qiyas menurut bahasa Arab berarti menyamakan, membandingkan atau mengukur, seperti menyamakan si A dengan si B, karena kedua orang itu mempunyai tinggi yang sama, bentuk tubuh yang sama, wajah yang sama dan sebagainya. Qiyas juga berarti mengukur, seperti mengukur tanah dengan meter atau alat pengukur yang lain. Demikian pula membandingkan sesuatu dengan yang lain dengan mencari persamaan-persamaannya.

Menurut para ulama ushul fiqh, ialah menetapkan hukum suatu kejadian atau peristiwa yang tidak ada dasar nashnya dengan cara membandingkannya kepada suatu kejadian atau peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash karena ada persamaan 'illat antara kedua kejadian atau peristiwa itu.

Telah terjadi suatu kejadian atau peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya, tetapi tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkannya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh dengan cara qiyas, yaitu dengan mencari peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, serta antara kedua kejadian atau peristiwa itu ada persamaan 'illat. Jadi suatu qiyas hanya dapat dilakukan apabila telah diyakini bahwa benar-benar tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa atau kejadian. Karena itu tugas pertama yang harus dilakukan oleh seorang yang akan melakukan qiyas, ialah mencari: apakah ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian. Jika telah diyakini benar tidak ada nash yang dimaksud barulah dilakukan qiyas. Agar lebih mudah memahaminya dikemukakan contoh-contoh berikut:

a. Minum narkotik adalah suatu perbuatan yang perlu diterapkan hukumnya, sedang tidak satu nashpun yang dapat dijadikan sebagai dasar hukumnya. Untuk menetapkan hukumnya dapat ditempuh cara qiyas dengan mencari perbuatan yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, yaitu perbuatan minum khamr, yang diharamkan berdasar firman Allah SWT.



Artinya:

"Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)

Antara minum narkotik dan minum khamr ada persamaan, illatnya, yaitu sama-sama berakibat memabukkan para peminumnya, sehingga dapat merusak akal. Berdasarkan persamaan 'illat itu ditetapkanlah hukum meminum narkotik itu yaitu haram, sebagaimana haramnya meminum khamr.

b. Si A telah menerima wasiat dari B bahwa ia akan menerima sebidang tanah yang telah ditentukan, jika B meninggal dunia. A ingin segera memperoleh tanah yang diwasiatkan, karena itu dibunuhnyalah B. Timbul persoalan: Apakah A tetap memperoleh tanah yang diwasiatkan itu? Untuk menetapkan hukumnya dicarilah kejadian yang lain yang ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya. Perbuatan itulalah pembunuhan yang dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya, karena ingin segera memperoleh harta warisan.

Sehubungan dengan itu Rasulullah SAW bersabda:



Artinya:

"Orang yang membunuh (orang yang akan diwarisinya) tidak berhak mewarisi." (HR. Tirmidzi)

Antara kedua peristiwa itu ada persamaan 'illatnya, yaitu ingin segera memperoleh sesuatu sebelum sampai waktu yang ditentukan. Berdasarkan persamaan 'illat itu dapat ditetapkan hukum bahwa si A haram memperoleh tanah yang diwariskan B untuknya, karena ia telah membunuh orang yang telah berwasiat untuknya, sebagaimana orang yang membunuh orang yang akan diwarisinya, diharamkan memperolah harta warisan dari orang yang telah dibunuhnya.

c. Terus melakukan sesuatu pekerjaan, seperti mencangkul di sawah, bekerja di kantor, dan sebagainya setelah mendengar adzan untuk melakukan shalat Jum'at belum ditetapkan hukumnya. Lalu dicari perbuatan lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash dan ada pula persamaan 'illatnya, yaitu terus menerus melakukan jual beli setelah mendengar adzan Jum'at, yang hukumnya makruh. Berdasar firman AIIah SWT:



Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, apabila diserukan (adzan) untuk sembahyang hari Jum'at, maka hendaklah segera mengingat Allah (shalat Jum'at) dan meninggalkan jual-beli. Yang demikian itu lebih baik untukmu jika kamu mengetahui." (al-Jumu'ah: 9)

Antara kedua pekerjaan itu ada persamaan 'illatnya, karena itu dapat pula ditetapkan hukum mengerjakan suatu pekerjaan setelah mendengar adzan Jum'at, yaitu makruh seperti hukum melakukan jual-beli setelah mendengar adzan Ju'mat.

Dari contoh-contoh di atas dapat dilihat bahwa dalam melakukan qiyas ada satu peristiwa atau kejadian yang perlu ditetapkan hukumnya sedang tidak ada satupun nash yang dapat dijadikan dasar hukumnya untuk menetapkan hukum dari peristiwa atau kejadian itu, dicarilah peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Kedua peristiwa atau kejadian itu mempunyai 'illat yang sama pula. Kemudian ditetapkanlah hukum peristiwa atau kejadian yang pertama sama dengan hukum peristiwa atau kejadian yang kedua.

2. Dasar hukum qiyas

Sebagian besar para ulama fiqh dan para pengikut madzhab yang empat sependapat bahwa qiyas dapat dijadikan salah satu dalil atau dasar hujjah dalam menetapkan hukum dalam ajaran Islam. Hanya mereka berbeda pendapat tentang kadar penggunaan qiyas atau macam-macam qiyas yang boleh digunakan dalam mengistinbathkan hukum, ada yang membatasinya dan ada pula yang tidak membatasinya, namun semua mereka itu barulah melakukan qiyas apabila ada kejadian atau peristiwa tetapi tidak diperoleh satu nashpun yang dapat dijadikan dasar.

Hanya sebagian kecil para ulama yang tidak membolehkan pemakaian qiyas sebagai dasar hujjah, diantaranya ialah salah satu cabang Madzhab Dzahiri dan Madzhab Syi'ah.

Mengenai dasar hukum qiyas bagi yang membolehkannya sebagai dasar hujjah, ialah al-Qur'an dan al-Hadits dan perbuatan sahabat yaitu:

a. Al-Qur'an

1) Allah SWT berfirman:



Artinya: "Hai orang-orang yang beriman, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan ulil amri kamu, kemudian jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah dan Rasul, jika kamu beriman kepada Allah dan hari akhirat. Yang demikian itu lebih baik (bagimu) dan lebih baik akibatnya." (an-Nisâ': 59)

Dari ayat di atas dapat diambilah pengertian bahwa Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menetapkan segala sesuatu berdasarkan al-Qur'an dan al-Hadits. Jika tidak ada dalam al-Qur'an dan al-Hadits hendaklah mengikuti pendapat ulil amri. Jika tidak ada pendapat ulil amri boleh menetapkan hukum dengan mengembalikannya kepada al-Qur'an dan al-Hadits, yaitu dengan menghubungkan atau memperbandingkannya dengan yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Hadits. Dalam hal ini banyak cara yang dapat dilakukan diantaranya dengan melakukan qiyas.



Artinya:

"Dialah yang mengeluarkan orang-orang kafir ahli kitab dari kampung halaman mereka pada pengusiran pertama kali. Kamu tidak mengira bahwa mereka akan keluar dan merekapun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat menghindarkan mereka dari (siksaan) Allah, akan tetapi Allah mendatangkan kepada mereka (siksaan) dari arah yang tidak mereka sangka. Dan Allah menanamkan ketakutan ke dalam hati mereka, dan mereka membinasakan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan-tangan orang yang beriman. Maka ambillah tamsil dan ibarat (dari kejadian itu) hai orang-orang yang mempunyai pandangan yang tajam." (al-Hasyr: 2)

Pada ayat di atas terdapat perkataan fa'tabirû yâ ulil abshâr (maka ambillah tamsil dan ibarat dari kejadian itu hai orang-orang yang mempunyai pandangan tajam). Maksudnya ialah: Allah SWT memerintahkan kepada manusia agar membandingkan kejadian yang terjadi pada diri sendiri kepada kejadian yang terjadi pada orang-orang kafir itu. Jika orang-orang beriman melakukan perbuatan seperti perbuatan orang-orang kafir itu, niscaya mereka akan memperoleh azab yang serupa. Dari penjelmaan ayat di atas dapat dipahamkan bahwa orang boleh menetapkan suatu hukum syara' dengan cara melakukan perbandingan, persamaan atau qiyas.

b. Al-Hadits.

1. Setelah Rasulullah SAW melantik Mu'adz bin Jabal sebagai gubernur Yaman, beliau bertanya kepadanya:



Artinya:

"Bagaimana (cara) kamul menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnya dalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Aku akan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh. (Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena ia berbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya." (HR. Ahmad Abu Daud dan at-Tirmidzi)

Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalam menetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Banyak cara yang dapat dilakukan dalam berijtihad itu. Salah satu diantaranya ialah dengan menggunakan qiyas.

2. Rasulullah SAW pernah menggunakan qiyas waktu menjawab pertanyaan yang dikemukakan sahabat kepadanya, seperti:



Artinya:

"Sesungguhnya seorang wanita dari qabilah Juhainah pernah menghadap Rasullah SAW ia berkata: sesungguhnya ibuku telah bernadzar melaksanakan ibadah haji, tetapi ia tidak sempat melaksanakannya sampai ia meninggal dunia, apakah aku berkewajiban melaksanakan hajinya? Rasullah SAW menjawab: Benar, laksanakanlah haji untuknya, tahukah kamu, seandainya ibumu mempunnyai hutang, tentu kamu yang akan melunasinya. Bayarlah hutang kepada Allah, karena hutang kepada Allah lebih utama untuk dibayar." (HR. Bukhari dan an-Nasâ'i)

Pada hadits di atas Rasulullah mengqiyaskan hutang kepada Allah dengan hutang kepada manusia. Seorang anak perempuan menyatakan bahwa ibunya telah meninggal dunia dalam keadaan berhutang kepada Allah, yaitu belum sempat menunaikan nadzarnya untuk menunaikan ibadah haji. Kemudian Rasulullah SAW menjawab dengan mengqiyaskannya kepada hutang. Jika seorang ibu meninggal dunia dalam keadaan berhutang, maka anaknya wajib melunasinya. Beliau menyatakan hutang kepada Allah lebih utama dibanding dengan hutang kepada manusia. Jika hutang kepada manusia wajib dibayar tentulah hutang kepada Allah lebih utama harus dibayar. Dengan cara demikian seakan-akan Rasulullah SAW menggunakan qiyas aulawi.

c. Perbuatan sahabat

Para sahabat Nabi SAW banyak melakukan qiyas dalam menetapkan hukum suatu peristiwa yang tidak ada nashnya. Seperti alasan pengangkatan Khalifah Abu Bakar. Menurut para sahabat Abu Bakar lebih utama diangkat menjadi khalifah dibanding sahabat-sahabat yang lain, karena dialah yang disuruh Nabi SAW mewakili beliau sebagai imam shalat di waktu beliau sedang sakit. Jika Rasulullah SAW ridha Abu Bakar mengganti beliau sebagai imam shalat, tentu beliau lebih ridha jika Abu Bakar menggantikan beliau sebagai kepala pemerintahan.

Khalifah Umar bin Khattab pernah menuliskan surat kepada Abu Musa al-Asy'ari yang memberikan petunjuk bagaimana seharusnya sikap dan cara seorang hakim mengambil keputusan. Diantara isi surat beliau itu ialah:



Artinya:

"kemudian pahamilah benar-benar persoalan yang dikemukakan kepadamu tentang perkara yang tidak terdapat dalam al-Qur'an dan Sunnah. Kemudian lakukanlah qiyas dalam keadaan demikian terhadap perkara-perkara itu dan carilah contoh-contohnya, kemudian berpeganglah kepada pendapat engkau yang paling baik di sisi Allah dan yang paling sesuai dengan kebenaran..."

d. Akal

Tujuan Allah SWT menetapakan syara' bagi kemaslahatan manusia. Dalam pada itu setiap peristiwa ada yang diterangkan dasarnya dalam nash dan ada pula yang tidak diterangkan. Peristiwa yang tidak diterangkan dalam nash atau tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya ada yang 'illatnya sesuai benar dengan 'illat hukum dari peristiwa yang ada nash sebagai dasarnya. Menetapkan hukum dari peristiwa yang tidak ada nash sebagai dasarnya ini sesuai dengan hukum yang telah ditetapkan berdasar nash karena ada persamaan 'illatnya diduga keras akan memberikan kemaslahatan kepada hamba. Sebab itu tepatlah kiranya hukum dari peristiwa itu ditetapkan dengan cara qiyas.

Bila diperhatikan akan tampak bahwa nash-nash al-Qur'an dan al-Hadits ada yang bersifat umum penjelasannya dan ada yang bersifat khusus, ada yang mujmal dan ada yang mubayyan. Biasanya yang bersifat umum dan mujmal, merupakan dasar-dasar umum dari syari'at Islam. Dalam pada itu peristiwa atau kejadian setiap saat bertambah. Banyak peristiwa atau kejadian yang terjadi sekarang tidak pernah terjadi pada masa Rasulullah, dan peristiwa itu perlu ditetapkan hukumnya, sedang tidak ada nash secara khusus tentang masalah itu yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, tetapi prinsip-prinsip umum dari peristiwa itu terpaham pada prinsip-prinsip umum ajaran Islam yang ditemukan harus dapat ditemukan di dalam al-Qur'an dan Hadits. Dengan melakukan qiyas maka hukum dari setiap peristiwa yang terjadi dapat ditetapkan.

3. Alasan golongan yang tidak menerima qiyas

Telah diterangkan bahwa ada golongan yang tidak menerima qiyas sebagai dasar hujjah. Alasan-alasan yang mereka kemukakan, ialah:

a. Menurut mereka qiyas dilakukan atas dasar dhan (dugaan keras), dan 'illatnyapun ditetapkan berdasarkan dugaan keras pula, sedang Allah SWT melarang kaum muslimin mengikuti sesuatu yang dhan, berdasar firman Allah SWT:



Artinya: "Janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentang itu..." (al-Isrâ': 36)

b. Sebahagian sahabat mencela sekali orang yang menetapkan pendapat semata-mata berdasarkan akal pikiran, seperti pernyataan Umar bin Khattab:



Artinya: "Jauhilah oleh kamu golongan rasionalisme, karena mereka adalah musuh ahli sunnah. Karena mereka tidak sanggup menghapal hadits-hadits, lalu mereka menyatakan pendapat akal mereka (saja), sehingga mereka sesat dan menyesatkan orang."

Jika diperhatikan alasan-alasan golongan yang tidak menggunakan qiyas sebagai dasar hujjah akan terdapat hal-hal yang perlu diperhatikan. Ayat 36 surat al-Isrâ', tidak berhubungan dengan qiyas, tetapi berhubungan dengan hawa nafsu seseorang yang ingin memperoleh keuntungan walaupun dengan menipu, karena pada ayat-ayat sebelumnya diterangkan hal-hal yang berhubungan dengan perintah menyempurnakan timbangan dan sukatan, perintah Allah memberikan harta anak yatim dan sebagainya dan dilarang oleh Allah melakukan tipuan dalam hal ini untuk mengambil harta orang lain. Sedang penegasan Umar bin Khattab berawanan dengan isi suratnya kepada Mu'adz bin Jabal, karena itu harus dicari penyelesaiannya. Pernyataan Umar di atas memperingatkan orang-orang yang terlalu berani menetapkan hukum, lebih mengutamakan pikirannya dari nash-nash yang ada dan tidak menjadikan aI-Qur'an dan Hadits sebagai pedoman rasionya di dalam proses mencari dan menetapkan hukum atas masalah-masalah hukum yang baru.

Golongan ra'yu yang dimaksudkan Umar bin Khattab tersebut adalah mereka yang menomorsatukan rasio, terlepas dari dari al-Qur'an dan al-Hadits, sehingga kedudukan al-Qur'an bagi mereka adalah nomor dua setelah rasio atau sudah dikesampinhkannya sama sekali. Dalam hal ini jelas bahwa cara berfikir golongan ra'yu (rasional) yang dikecam Umar bin Khattab tersebut tidak berfikir secara Islami. Apalagi kaum rasionalis tersebut tidak dapat melepaskan diri dari subyektivitas kepentingan individu dan golongannya, sedang surat Umar kepada Mu'adz membolehkan untuk melakukan giyas, jika tidak ada nash yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum suatu peristiwa.

4. Rukun qiyas

Ada empat rukun giyas, yaitu:
Ashal, yang berarti pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash. Ashal disebut juga maqis 'alaih (yang menjadi ukuran) atau musyabbah bih (tempat menyerupakan), atau mahmul 'alaih (tempat membandingkan);
Fara' yang berarti cabang, yaitu suatu peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasar. Fara' disebut juga maqis (yang diukur) atau musyabbah (yang diserupakan) atau mahmul (yang dibandingkan);
Hukum ashal, yaitu hukum dari ashal yang telah ditetapkan berdasar nash dan hukum itu pula yang akan ditetapkan pada fara' seandainya ada persamaan 'illatnya; dan
'IIIat, yaitu suatu sifat yang ada pada ashal dan sifat itu yang dicari pada fara'. Seandainya sifat ada pula pada fara', maka persamaan sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum fara' sama dengan hukum ashal.

Sebagai contoh adalah menjual harta anak yatim adalah suatu peristiwa yang perlu ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya. Peristiwa ini disebut fara'. Untuk menetapkan hukumnya dicari suatu peristiwa yang lain yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yang illatnya sama dengan peristiwa pertama. Peristiwa kedua ini memakan harta anak yatim yang disebut ashal. Peristiwa kedua ini telah ditetapkan hukumnya berdasar nash yaitu haram (hukum ashal) berdasarkan firman Allah SWT:



Artinya:

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara dhalim sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)." (an-Nisâ': 10)

Persamaan 'illat antara kedua peristiwa ini, ialah sama-sama berakibat berkurang atau habisnya harta anak yatim. Karena itu ditetapkanlah hukum menjual harta anak yatim sama dengan memakan harta anak yatim yaitu sama-sama haram.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Ashal, ialah memakan harta anak yatim.
Fara', ialah menjual harta anak yatim.
Hukum ashal, ialah haram.
'Illat, ialah mengurangi atau menghabiskan harta anak yatim.

5. Syarat-syarat qiyas

Telah diterangkan rukun-rukun qiyas. Tiap-tiap rukun itu mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:

a. Ashal dan fara'

Telah diterangkan bahwa ashal dan fara' berupa kejadian atau peristiwa. Yang pertama mempunyai dasar nash, karena itu telah ditetapkan hukumnya, sedang yang kedua tidak mempunyai dasar nash, sehingga belum ditetapkan hukumnya. Oleh sebab itu ashal disyaratkan berupa peristiwa atau kejadian yang telah ditetapkan hukumnya berdasar nash, sedang fara' berupa peristiwa yang belum ditetapkan hukumnya karena tidak ada nash yang dapat dijadikan dasarnya. Hal ini berarti bahwa seandainya terjadi qiyas, kemudian dikemukakan nash yang dapat dijadikan sebagai dasarnya, maka qiyas itu batal dan hukum fara' itu ditetapkan berdasar nash yang baru ditemukan itu.

b. Hukum ashal

Ada beberapa syarat yang diperlukan bagi hukum ashal, yaitu:
Hukum ashal itu hendaklah hukum syara' yang amali yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash. Hal ini diperlukan karena yang akan ditetapkan itu adalah hukum syara', sedang sandaran hukum syara' itu adalah nash. Atas dasar yang demikian, maka jumhur ulama tidak berpendapat bahwa ijma' tidak boleh menjadi sandaran qiyas. Mereka menyatakan bahwa hukum yang ditetapkan berdasarkan ijma' adalah hukum yang ditetapkan berdasarkan kesepakatan, tidak mempunyai sandaran, selain dari kesepakatan dari mujtahid. Karena hukum yang ditetapkan secara ijma' tidak dapat diketahui dengan pasti, sehingga tidak mungkin mengqiyaskan hukum syara' yang amali kepada hukum yang mujma' 'alaih. Asy-Syaukani membolehkan ijma' sebagai sandaran qiyas.
'Illat hukum ashal itu adalah 'illat yang dapat dicapai oleh akal. Jika 'illat hukum ashal itu tidak dapat dicapai oleh akal, tidaklah mungkin hukum ashal itu digunakan untuk menetapkan hukum pada peristiwa atau kejadian yang lain (fara') secara qiyas. Sebagaimana diketahui bahwa syari'at itu ditetapkan untuk kemaslahatan manusia, serta berdasarkan 'illat-'illat yang ada padanya. Tidak ada hukum yang ditetapkan tanpa 'illat. Hanya saja ada 'illat yang sukar diketahui bahkan ada yang sampai tidak diketahui oleh manusia, seperti apa illat shalat Dzuhur ditetapkan empat raka'at, apa pula 'illat shalat Maghrib ditetapkan tiga raka'at dan sebagainya tidak ada yang mengetahui 'illatnya dengan pasti. Disamping itu ada pula ada pula hukum yang 'illatnya dapat diketahui dengan mudah, seperti kenapa diharamkan meminum khamar, haram mengambil harta orang lain dan sebagainya. Hukum ashal kedua inilah yang dapat dijadikan sandaran qiyas.
Hukum ashal itu tidak merupakan hukum pengecualian atau hukum yang berlaku khusus untuk satu peristiwa atau kejadian tertentu.

Hukum ashal macam ini ada dua macam, yaitu:
'Illat hukum itu hanya ada pada hukum ashal saja, tidak mungkin pada yang lain. Seperti dibolehkannya mengqashar shalat bagi orang musafir. 'IlIat yang masuk akal dalam hal ini ialah untuk menghilangkan kesukaran atau kesulitan (musyaqqat) Tetapi al-Qur'an dan al-Hadits menerangkan bahwa 'illat itu bukan karena adanya safar (perjalanan).
Dalil (al-Qur'an dan al-Hadits) menunjukkan bahwa hukum ashal itu berlaku khusus tidak berlaku pada kejadian atau peristiwa yang lain. Seperti beristri lebih dari empat hanya dibolehkan bagi Nabi Muhammad SAW saja dan istri beliau itu tidak boleh kawin dengan laki-laki lain walaupun beliau telah meninggal dunia, dan sebagainya.

c. 'Illat

'Illat ialah suatu sifat yang ada pada ashal yang sifat itu menjadi dasar untuk menetapkan hukum ashal serta untuk mengetahui hukum pada fara' yang belum ditetapkan hukumnya, seperti menghabiskan harta anak yatim merupakan suatu sifat yang terdapat pada perbuatan memakan harta anak yatim yang menjadi dasar untuk menetapkan haramnya hukum menjual harta anak yatim.

Para ulama sepakat bahwa Allah SWT membentuk hukum dengan tujuan untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Kemaslahatan itu adakalanya dalam bentuk mengambil manfaat (jalbul manâfi') dan adakalanya dalam bentuk menolak kerusakan dan bahaya (darul mafâsid). Kedua macam bentuk hukum itu merupakan tujuan terakhir dari pembentukan hukum yang disebut hikmah hukum.

Hikmah hukum berbeda dengan 'illat hukum. Hikmah hukum merupakan pendorong pembentukan hukum dan sebagai tujuannya yang terakhir ialah untuk kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat dengan memperoleh manfaat dan keuntungan serta terhindar dari segala macam kerusakan. 'Illat hukum suatu sifat yang nyata dan pasti ada pada suatu peristiwa yang dijadikan dasar hukum.

'IlIat merupakan sifat dan keadaan yang melekat pada dan mendahului peristiwa/perbuatan hukum yang terjadi dan menjadi sebab hukum, sedangkan hikmah adalah sebab positif dan hasil yang dirasakan kemudian setelah adanya peristiwa hukum. Sebagai contoh ialah seorang musafir boleh mengqashar shalatnya, seperti mengerjakan shalat Dzuhur yang empat raka'at menjadi dua raka'at dan sebagainya. Hikmahnya ialah untuk menghilangkan kemusyaqqatan atau kemudharatan. Hikmah ini hanya merupakan dugaan saja dan tidak dapat dijadikan dasar ada atau tidaknya hukum, sedang 'illat adalah suatu yang nyata dan pasti, seperti safar (dalam perjalanan) menyebabkan seseorang boleh mengqashar shalat.

Mengenai 'illat hukum dan sebab hukum, ada yang tidak membedakannya, mereka menyamakan arti kedua istilah tersebut. Sebagian ulama lagi membedakannya, sekalipun perbedaan itu sangat sedikit. Menurut mereka 'illat hukum dapat dicapai oleh akal, sedang sebab hukum ada yang dapat dicapai akal dan ada yang sukar dicapai oleh akal. Sebenarnya untuk membedakan pengertian kedua istilah itu sukar dilakukan, karena ada suatu peristiwa yang dalam peristiwa itu 'illat dan sebabnya sama. Seperti tergelincir matahari pada siang hari merupakan sebab seorang muslim wajib mengerjakan shalat Dzuhur, demikian pula terbenamnya matahari pada hari terakhir bulan Sya'ban merupakan sebab kaum muslimin besoknya mengerjakan puasa bulan Ramadlan. Tetapi terbenam dan tergelincirnya matahari itu bukanlah 'illat hukum karena kedua sebab itu tidak terjangkau oleh akal. Lain halnya dengan safar (dalam perjalanan) disamping ia merupakan 'illat hukum, juga merupakan sebab hukum yang membolehkannya untuk mengqashar shalat.

Dengan demikian dapat ditetapkan bahwa sebab itu lebih umum dari 'illat, dengan perkataan lain bahwa semua 'illat dapat dikatakan sebab, tetapi belum tentu semua sebab dapat dikatakan 'illat.

1. Syarat-syarat 'illat

Ada empat macam syarat-syarat yang disepakati ulama, yaitu:
Sifat 'illat itu hendaknya nyata, masih terjangkau boleh akal dan pancaindera. Hal ini diperlukan karena 'illat itulah yang menjadi dasar untuk menetapkan hukum pada fara'. Seperti sifat menghabiskan harta anak yatim, terjangkau oleh pancaindera dan akal, bahwa 'illat itu ada pada memakan harta anak yatim (ashal) dan terjangkau pula oleh pancaindera dan akal bahwa 'illat itu ada pada menjual harta anak yatim (fara'). Jika sifat 'illat itu samar-samar, kurang jelas dan masih ragu-ragu, tentulah tidak dapat digunakan untuk menetapkan ada dan tidaknya hukum pada ashal.
Sifat 'illat itu hendaklah pasti, tertentu, terbatas dan dapat dibuktikan bahwa 'illat itu ada pada fara', karena asas qiyas itu adalah adanya persamaan illat antara ashal dan fara'. Seperti pembunuhan sengaja dilakukan oleh ahli waris terhadap orang yang akan diwarisinya hakekatnya adalah pasti, karena itu dapat dijadikan dasar qiyas atas peristiwa pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja oleh penerima wasiat terhadap orang yang telah memberi wasiat kepadanya.
'Illat harus berupa sifat yang sesuai dengan kemungkinan hikmah hukum, dengan arti bahwa keras dugaan bahwa 'illat itu sesuai dengan hikmah hukumnya. Seperti memabukkan adalah hal yang sesuai dengan hukum haram minum khamar, karena dalam hukum itu terkandung suatu hikmah hukum, yaitu memelihara akal dengan menghindarkan diri dari mabuk. Pembunuhan dengan sengaja adalah sesuai dengan keharusan adanya qishash, karena dalam qishash itu terkandung suatu hikmah hukum yaitu untuk memelihara kehidupan manusia.
'Illat itu tidak hanya terdapat pada ashal saja, tetapi haruslah berupa sifat yang dapat pula diterapkan pada masalah-masalah lain selain dari ashal itu. Seperti hukum-hukum yang khusus berlaku bagi Nabi Muhammad SAW tidak dijadikan dasar qiyas. Misalnya mengawini wanita lebih dari empat orang, berupa ketentuan khusus berlaku bagi beliau, tidak berlaku bagi orang lain. Larangan isteri-isteri Rasulullah saw kawin dengan laki-Iaki lain setelah beliau meninggal dunia, sedang wanita-wanita lain dibolehkan.

2. Pembagian 'Illat

Ditinjau dari segi ketentuan pencipta hukum (syari') tentang sifat apakah sesuai atau tidak dengan hukum, maka ulama ushul membaginya kepada empat bagian, yaitu:

a. Munasib mu'tsir

Yaitu persesuaian yang diungkapkan oleh syara' dengan sempurna, atau dengan perkataan lain bahwa pencipta hukum (syari') telah menciptakan hukum sesuai dengan sifat itu, seperti firman Allah SWT:



Artinya:

"Mereka bertanya kepadamu tentang haid, katakanlah haid itu adalah suatu kotoran. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid." (al-Baqarah: 222)

Pada ayat di atas Allah SWT (sebagai syari') telah menetapkan hukum, yaitu haram mencampuri isteri yang sedang haid. Sebagai dasar penetapan hukum itu ialah kotoran, karena kotoran itu dinyatakan dalam firman Allah SWT di atas sebagai 'illatnya. Kotoran sebagai sifat yang menjadi sebab haram mencampuri isteri yang sedang haid adalah sifat yang sesuai dan menentukan penetapan hukum.

b. Munasib mulaim

Yaitu persesuaian yang diungkapkan syara' pada salah satu jalan saja. Maksudnya ialah persesuaian itu tidak diungkapkan syara' sebagai 'illat hukum pada masalah yang sedang dihadapi, tetapi diungkapkan sebagai 'illat hukum dan disebut dalam nash pada masalah yang lain yang sejenis dengan hukum yang sedang dihadapi. Contohnya, ialah kekuasaan wali untuk mengawinkan anak kecil yang di bawah perwaliannya tidak ada nash yang menerangkan 'illatnya. Pada masalah lain yaitu pengurusan harta anak yatim yang masih kecil, syara' mengungkapkan keadaan kecil sebagai 'illat hukum yang menyebabkan wali berkuasa atas harta anak yatim yang berada di bawah perwaliannya itu. Berdasarkan pengungkapan syara' itu maka keadaan kecil dapat pula dijadikan 'illat untuk menciptakan hukum pada masalah lain, seperti penetapan kekuasaan wali dalam mengawinkan anak yatim yang berada di bawah perwaliannya.

c. Munasib mursal

Ialah munasib yang tidak dinyatakan dan tidak pula diungkapkan oleh syara'. Munasib mursal berupa sesuatu yang nampak oleh mujtahid bahwa menetapkan hukum atas dasarnya mendatangkan kemaslahatan, tetapi tiada dalil yang menyatakan bahwa syara' membolehkan atau tidak membolehkannya, seperti membukukan al-Qur'an atau mushhaf, tidak ada dalil yang membolehkan atau melarangnya. Tetapi Khalifah Utsman bin Affan melihat kemaslahatannya bagi seluruh kaum muslimin, yaitu al-Qur'an tidak lagi berserakan karena telah tertulis dalam satu buku serta dapat menghindarkan kaum muslimin dari kemungkinan terjadinya perselisihan tentang dialek al-Qur'an.

d. Munasib mulghaa

Yaitu munasib yang tidak diungkapkan oleh syara' sedikitpun, tetapi ada petunjuk yang menyatakan bahwa menetapkan atas dasarnya diduga dapat mewujudkan kemaslahatan. Dalam pada itu syara' tidak menyusun hukum sesuai dengan sifat atau 'illat tersebut, bahkan syara' memberi petunjuk atas pembatalan atas sifat tersebut. Sebagai contohnya, ialah kedudukan laki-Iaki dan perempuan dalam kerabat. Kemudian atas dasar persamaan itu mungkin dapat ditetapkan pula persamaan dalam warisan. Tetapi syara' mengisyaratkan pembatalannya dengan menyatakan bahwa bagian laki-Iaki adalah dua kali bagian perempuan.

3. Musâlikul 'illat (cara mencari 'illat)

Musâlikul 'illat, ialah cara atau metode yang digunakan untuk mencari sifat atau 'illat dari suatu peristiwa atau kejadian yang dapat dijadikan dasar untuk menetapkan hukum.

Diantara cara tersebut, ialah:

a. Nash yang menunjukkannya;

b. Ijma' yang menunjukkannya

c. Dengan penelitian. Dengan penelitian ini terbagi kepada:
Munasabah
Assabru wa taqsîm
Tanqîhul manath
Tahqîqul manath

a. Nash yang menunjukkannya

Dalam hal ini nash sendirilah yang menerangkan bahwa suatu sifat merupakan 'illat hukum dari suatu peristiwa atau kejadian. 'Illat yang demikian disebut 'illat manshuh 'alaih. Melakukan qiyas berdasarkan 'illat yang disebutkan oleh nash pada hakikatnya adalah menetapkan hukum suatu dasar nash.

Petunjuk nash tentang sifat suatu kejadian atau peristiwa yang merupakan 'illat itu ada dua macam, yaitu sharahah (jelas) dan ima' atau isyarah (dengan isyarat).

1. Dalalah sharahah

Ialah penunjuk lafadh yang terdapat dalam nash kepada 'illat hukum jeIas sekali. Atau dengan perkataan lain bahwa lafadh nash itu sendiri menunjukkan 'illat hukum dengan jelas, seperti ungkapan yang terdapat daIam nash: supaya demikian atau sebab demikian dan sebagainya. Dalalah sharahah ada dua macam, yang pertama dalalah sharahah yang qath'i dan kedua ialah dalalah sharahah yang dhanni.

Daialah sharahah yang qath'i, ialah apabila penunjukan kepada 'illat hukum itu pasti dan yakin, seperti firman AlIah SWT:



Artinya:

"(Mereka Kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu..." (an-Nisâ': 165)

Ayat ini menyatakan bahwa 'illat diutus para rasul yang membawa kabar gembira dan memberi peringatan itu ialah agar manusia tidak mencari-cari alasan dengan mengatakan bahwa mereka belum pernah mendapat peringatan dari rasul yang diutus kepada mereka. Perkataan li-allâ yakûna dan ba'darrasûl merupakan 'illat hukum yang pasti, tidak mungkin dialihkan kepada yang lain.

Dengan sabda Nabi Muhhammad SAW:



Artinya: "Aku melarang kamu menyimpan daging binatang kurban tidak lain hanyalah karena banyak orang berkumpul (memerlukan). Dan (jika tidak banyak orang memerlukan) makan, simpanlah." (HR. an-Nasâ'i)

Pada hadits di atas diterangkan 'illat Rasulullah SAW melarang kaum muslimin menyimpan daging kurban, yaitu karena banyak orang yang memerlukannya. 'Illat larangan menyimpan daging kurban itu tidak dapat ditetapkan orang lain, selain dari li ajliddâfah (karena banyak orang memerlukannya).

Daialah sharahah yang dhanni, ialah apabila penunjuk nash kepada 'illat hukum itu adalah berdasar dengan keras (dhanni), karena kemungkinan dapat dibawa kepada 'illat hukum yang lain. Seperti firman Allah SWT:



Artinya:

"Dirikanlah shalat karena matahari tergelincir sampai gelap malam." (al-Isrâ'; 78)

Dan firman Allah SWT:



Artinya:

"Maka disebabkan kedhaliman orang-orang Yahudi, kami haramkan atas mereka (memakan makanan) yang baik-baik (yang dahulunya) dihalalkan bagi mereka" (an-Nisâ': 160)

Pada ayat pertama terdapat huruf al-lâm pada perkataan liduluki dan huruf al-bâ' pada perkataan fabidhulmi. Al-lâm berarti karena dan dapat pula berarti sesudah, sedang al-bâ' berarti disebabkan dan dapat pula berarti dengan. Kedua arti tersebut dapat digunakan, akan tetapi menurut dugaan yang keras bahwa jika kedua huruf itu diartikan dengan karena dan disebabkan maka akan memperjelas arti ayat tersebut.

2. Dalalah ima' (isharah)

Ialah petunjuk yang dipahami dari sifat yang menyertainya, atau dengan perkataan lain ialah ada suatu sifat yang menyertai petunjuk itu dan sifat itu merupakan 'illat ditetapkannya suatu hukum Jika penyertaan sifat itu tidak dapat dipahamkan demikian, maka tidak ada gunanya menyertakan sifat itu. Ada beberapa macam dalalah ima', diantaranya ialah:

a. Mengerjakan suatu pekerjaan karena terjadi suatu peristiwa sebelumnya. Seperti Nabi Muhammad SAW mengerjakan sujud sahwi, karena beliau lupa mengerjakan salah satu dari rukun shalat. Nabi Muhammad SAW memerintahkan seseorang memerdekakan budak, karena ia telah bercampur dengan isterinya pada siang hari bulan Ramadlan. Dari contoh di atas jelas bahwa karena ada peristiwa lupa menjadi 'illat dilakukan sujud sahwi. Karena bercampur dengan isteri pada siang hari bulan Ramadhan menjadikan 'illat untuk memerdekakan budak.

b. Menyebutkan suatu sifat bersamaan (sebelum atau sesudah) dengan hukum. Seandainya sifat itu dipandang bukan sebagai 'illat tentulah tidak perlu disebutkan. Contohnya, adalah Nabi Muhammad SAW bersabda:



Artinya: "Seseorang tidak boleh memberi keputusan antara dua orang (yang berperkara) dalam keadaan ia sedang marah." (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari hadits di atas dipahamkan bahwa sifat marah disebut bersamaan dengan larangan memberi keputusan antara dua orang berperkara yang merupakan 'illat dari larangan mengadili perselisihan itu.

c. Membedakan dua buah hukum dengan menyebutkan dua sifat yang berbeda pula, seperti sabda Rasulullah SAW:



Artinya:

"Barisan berjalan kaki mendapat satu bagian, sedang barisan berkuda mendapat dua bagian." (HR. Bukhari dan Muslim)

Barisan berjalan kaki dan barisan berkuda menjadi 'illat perbedaan pembagian harta rampasan perang.

d. Membedakan dua hukum dengan syarat, seperti firman Allah SWT:



Artinya:

"...Dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalak) itu sedang hamil maka berikanlah mereka nafkahnya hingga mereka bersalin, kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu, maka kepada mereka berikanlah upahnya..." (ath-Thalak: 6)

Pada ayat ini diterangkan bahwa hamil menjadi syarat ('illat) wajibnya pemberian nafkah kepada isteri yang ditalak bain dan rnenyusukan anak menjadi syarat ('illat) pemberian upah menyusukan anak.

e. Membedakan antara dua hukum dan batasan (ghayah), sebagaimana firman Allah SWT:



Artinya:

"...dan janganlah kamu mendekati mereka sehingga mereka suci." (al-Baqarah: 222)

Pada ayat ini diterangkan bahwa kesucian mereka batas ('illat) kebolehan suami mencampuri isteri.

f. Membedakan antara dua hukum dengan pengecualian (istimewa), sebagaimana firman Allah SWT:



Artinya: "Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal kamu sudah menentukan maharnya maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu, kecuali jika isteri-isterimu itu memaafkan atau dimaafkan oleh orang yang memegang ikatan nikah..." (al-Baqarah: 237)

Pada ayat ini diterangkan bahwa memaafkan merupakan pengecualian ('illat) hapusnya kewajiban membayar mas kawin.

g. Membedakan dua hukum dengan pengecualian (istidrak) sebagaimana firman Allah SWT:



Artinya: "Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja." (al-Mâidah: 89)

Pada ayat ini Allah SWT membedakan hukum dua perbuatan, yaitu perbuatan berupa sumpah yang tidak disengaja dan perbuatan berupa sumpah yang disengaja. Kesengajaan bersumpah dijadikan 'illat untuk penetapan hukum.

b. Ijma' yang menunjukkannya

Maksudnya, ialah 'illat itu ditetapkan dengan ijma', belum baligh (masih kecil) menjadikan 'illat dikuasai oleh wali harta anak yatim yang belum baligh. Hal itu disepakati oleh para ulama.

c. Dengan penelitian

Ada bermacam cara penelitian itu dilakukan, yaitu:

1. Munasabah

Munasabah ialah persesuaian antara sesuatu hal, keadaan atau sifat dengan perintah atau larangan. Persesuaian tersebut ialah persesuaian yang dapat diterima akal, karena persesuaian itu ada hubunganya dengan mengambil manfaat dan menolak kerusakan atau kemudharatan bagi manusia. Allah SWT menciptakan syari'at bagi manusia ada maksudnya dan tujuannya, yaitu mewujudkan kemaslahatan bagi manusia. Agar maksud dan tujuan itu tercapai maka syari'at membagi perbuatan manusia atas tiga tingkatan, yaitu:

a. Tingkat dharuri (yang harus ada);

b. Tingkat haji (yang sangat diperlukan); dan

c. Tingkat tahsini (yang baik sekali dikerjakan).

Tingkat pertama lebih utama dari tingkat kedua, tingkat kedua lebih utama dari tingkat ketiga.

a. Tingkat dharuri

Tingkat dharuri adalah hal-hal yang harus ada, tidak boleh tidak ada dalam usaha menegakkan agama Islam dan kepentingan umum. Apabila hal itu tidak ada tentulah akan rusak dan binasa dunia ini.

Tingkat dharuri ini mempunyai pula lima tingkat, tingkat pertama lebih utama, kemudian baru tingkat kedua, setelah itu tingkat ketiga, setelah itu keempat dan terakhir tingkat kelima. Bila tingkat pertama berlawanan dengan tingkat kedua maka dimenangkan tingkat pertama, demikianlah seterusnya sampai tingkat kelima.

Kelima tingkat itu, ialah:
Memelihara agama. Untuk maksud ini maka Allah SWT memerintahkan kaum muslimin agar menegakkan syi'ar-syi'ar Allah, seperti mendirikan shalat yang lima waktu, puasa, zakat, haji, jihad dan sebagainya;
Memelihara jiwa, untuk ini dilarang membunuh jiwa, termasuk jiwa sendiri, disyari'atkan hukum qishash dan sebagainya.
Memelihara akal, untuk ini diharamkan minum khamar dan semua perbuatan yang dapat merusak akal;
Memelihara keturunan, untuk ini dilarang zina dengan menjatuhkan hukuman berat bagi pelakunya; dan
Memelihara harta, untuk ini ditetapkan hukum potong tangan bagi pencuri, hukuman berat bagi perampok dan sebagainya.

b. Tingkat haji

Manusia dalam kehidupannya ada yang dalam keadaan lapang dan ada yang dalam keadaan sukar dan sempit, terutama dalam menghadapi kewajiban dan memikul beban yang ditugaskan dan dibebankan Allah SWT kepada mereka. Bagi orang-orang yang dalam keadaan kesempitan dan kesukaran Allah SWT selalu memberikan kelapangan dan kemudahan bagi mereka. Seandainya kemudahan dan keringanan itu tidak diberikan, kehidupan manusia akan terasa sulit dan sengsara. Haji terdapat pada:
Ibadat, seperti boleh mengqadha puasa bulan Ramadlan bagi orang yang sakit atau musafir, boleh mengqashar shalat bagi orang yang dalam keadaan takut atau musafir, boleh tayamum bagi orang yang tidak memperoleh air dan sebagainya;
Mu'amalat, seperti boleh melakukan salam, ijârah dan sebagainya;
Adat, seperti boleh berburu.

c. Tingkat tahsini

Tahsini adalah segala sesuatu yang baik dikerjakan terutama yang berhubungan dengan akhlak dan susila. Kalau tahsini ada, kehidupan manusia akan tinggi nilainya dan terasa indah, tetapi kalau tahsini tidak ada kehidupan manusia tidak akan rusak. Diantara contoh taksini ialah:
Dalam ibadat, seperti berhias dalam mengerjakan shalat, mengerjakan perbuatan yang sunnah dan sebagainya;
Adat, seperti sopan santun dalam pergaulan hormat-menghormati dan sebaginya;
Mu'amalat, seperti menghindarkan diri dari menjual najis.

Dalam munasabah diperlukan ketajaman untuk meneliti mana yang termasuk tingkat dharuri, mana yang tingkat haji dan mana yang termasuk tingkat tahsini. Dengan mengetahui tingkat perbuatan itu maka hukum yang berhubungan dengan dharuri harus lebih diutamakan menjalankannya jika berlawanan dengan perbuatan haji atau tahsini, seperti membunuh jiwa termasuk menghilangkan jiwa diharamkan oleh Allah. Tetapi membunuh jiwa dalam peperangan dibolehkan untuk menegakkan agama. Meminum khamar diharamkan karena merusak akal, tetapi meminum khamar itu dibolehkan untuk berobat, sehingga jiwa terpelihara.

2. Assabru wa taqsim

As sabru berarti meneliti kemungkinan-kemungkinan dan taqsim berarti menyeleksi atau memisah-misahkan. As sabru wa taqsim maksudnya ialah meneliti kemungkinan-kemungkinan sifat-sifat pada suatu peristiwa atau kejadian, kemudian memisahkan atau memilih diantara sifat-sifat itu yang paling tepat dijadikan sebagai 'illat hukum. As sabru wa taqsim dilakukan apabila ada nash tentang suatu peristiwa atau kejadian, tetapi tidak ada nash atau ijma' yang menerangkan 'illatnya.

Contoh As sabru wa taqsim adalah sebagai berikut:

a. Rasulullah SAW mengharamkan riba fadhli, yaitu menukar benda-benda tertentu yang sejenis dengan takaran atau timbangan yang berbeda, berdasarkan sabda beliau:



Artinya

"Emas dengan emas, perak dengan perak, gandum dengan gandum, padi Belanda dengan padi Belanda, kurma dengan kurma, garam dengan garam, hendaklah sama jenisnya, sama ukurannya lagi kontan. Apabila berbeda jenisnya, maka juallah menurut kehendakmu, bila itu dilakukan dengan kontan." (HR. Muslim)

Dalam menetapkan haramnya riba fadhli sesuai dengan hadits di atas, tidak ada nash yang lain atau ijma' yang menerangkan 'illatnya. Karena itu perlu dicari 'illatnya dengan as sabru wa taqsim.

Ada enam macam yang disebut dalam hadits di atas. Para mujtahid mencari sifat-sifat dari yang enam macam itu, kemudian menetapkan sifat yang sama dan patut dijadikan 'illat. Yang pertama ialah gandum. Sifat-sifat gandum, ialah pertama termasuk jenis yang dapat dipastikan ukurannya, karena ia dapat diukur dengan takaran, kedua ia termasuk jenis makanan, bahkan ia termasuk jenis makanan pokok, dan ketiga ia termasuk jenis tanaman. Kemudian kita terapkan sifat-sifat ini pada lima macam yang lain. Pada emas dan perak hanya didapati sifat pertama, pada gandum, padi Belanda dan kurma terdapat ketiga macam sifat di atas, sedang pada garam didapati sifat pertama dan kedua. Berdasarkan penetapan itu maka diperoleh satu sifat yang dipunyai oleh keenam macam tersebut pada hadits di atas, yaitu sifat pertama bahwa keenam macam jenis itu termasuk jenis yang dapat dipastikan dengan ukurannya baik dengan timbangan atau dengan takaran. Sifat ini dapat ditetapkan sebagai 'illat untuk menetapkan hukum bahwa haram mempertukarkan barang yang sejenis yang dapat dipastikan ukurannya bila tidak sama timbangan, takaran, mutu dan tidak pula dilakukan dengan kontan.

b. Sepakat para ulama bahwa para wali mujbir boleh menikahkan anak kecil wanita tanpa persetujuan anak itu, tetapi tidak ada nash yangmenerangkan 'illatnya. Karena itu para mujtahid meneliti sifat-sifat yang mungkin dijadikan 'illatnya. Diantara sifat yang mungkin dijadikan 'illat, ialah belum baligh, gadis (bikr) dan belum dewasa (rusyd). Pada ayat 6 surat an-Nisâ' tidak dewasa dapat dijadikan 'illat seorang wali menguasai harta seorang yatim yang belum dewasa. Karena itu ditetapkanlah belum dewasa itu sebagai 'illat kebolehan wali mujbir menikahkan anak perempuan yang berada di bawah perwaliannya.

3. Tanqîhul manath

Tanqîhul manath, ialah mengumpulkan sifat-sifat yang ada pada fara' dan sifat-sifat yang ada pada ashal, kemudian dicari yang sama sifatnya. Sifat-sifat yang sama dijadikan sebagai 'illat, sedang sifat yang tidak sama ditinggalkan. Sebagai contoh ialah, pada ayat 25 surat an-Nisâ' diterangkan bahwa hukuman yang diberikan kepada budak perempuan adalah separuh dari hukuman kepada orang merdeka sedang tidak ada nash yang menerangkan hukuman bagi budak laki-Iaki. Setelah dikumpulkan sifat-sifat yang ada pada keduanya maka yang sama ialah sifat kebudakan. Karena itu ditetapkanlah bahwa sifat kebudakan itu sebagai 'illat untuk menetapkan hukum bahwa hukuman bagi budak laki-Iaki sama dengan yang diberikan kepada budak perempuan, yaitu separuh dari hukuman yang diberikan kepada orang yang merdeka.

4. Tahqiqul manath

Tahqiqul manath, ialah menetapkan 'illat. Maksudnya ialah sepakat menetapkan 'illat pada ashal, baik berdasarkan nash atau tidak. Kemudian 'illat itu disesuaikan dengan 'illat pada fara'. Dalam hal ini mungkin ada yang berpendapat bahwa 'illat itu dapat ditetapkan pada fara' dan mungkin pula ada yang tidak berpendapat demikian. Contohnya, ialah 'illat potong tangan bagi pencuri, yaitu karena ia mengambil harta secara sembunyi pada tempat penyimpanannya, hal ini disepakati para ulama. Berbeda pendapat para ulama jika 'illat itu diterapkan pada hukuman bagi pencuri kain kafan dari kubur. Menurut Syafi'iyyah dan Malikiyah pencuri itu dihukum potong tangan, karena mengambil harta di tempat penyimpanannya, yaitu dalam kubur sedang Hanafiyah tidak menjadikan sebagai 'illat, karena itu pencuri kafan tidak dipotong tangannya.

6. Pembagian qiyas

Qiyas dapat dibagi kepada tiga macam, yaitu: 1. Qiyas 'illat; 2. Qiyas dalalah; dan 3. Qiyas syibih.

a. Qiyas 'illat

Qiyas 'illat, ialah qiyas yang mempersamakan ashal dengan fara' karena keduanya mempunyai persamaan 'illat. Qiyas 'illat terbagi:

1. Qiyas jali

Ialah qiyas yang 'illatnya berdasarkan dalil yang pasti, tidak ada kemungkinan lain selain dari 'illat yang ditunjukkan oleh dalil itu. Qiyas jali terbagi kepada:

a. Qiyas yang 'illatnya ditunjuk dengan kata-kata, seperti memabukkan adalah 'illat larangan minum khamr,yang disebut dengan jelas dalam nash.

b. Qiyas mulawi. Ialah qiyas yang hukum pada fara' sebenarnya lebih utama ditetapkan dibanding dengan hukum pada ashal. Seperti haramnya hukum mengucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua berdasarkan firman Allah SWT:



Artinya: "Maka janganlah ucapkan kata-kata "ah" kepada kedua orangtua(mu)." (al-Isrâ': 23)

'Illatnya ialah menyakiti hati kedua orangtua. Bagaimana hukum memukul orang tua? Dari kedua peristiwa nyatalah bahwa hati orang tua lebih sakit bila dipukul anaknya dibanding dengan ucapan "ah" yang diucapkan anaknya kepadanya. Karena itu sebenarnya hukum yang ditetapkan bagi fara' lebih utama dibanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal.

c. Qiyas musawi

Ialah qiyas hukum yang ditetapkan pada fara' sebanding dengan hukum yang ditetapkan pada ashal, seperti menjual harta anak yatim diqiyaskan kepada memakan harta anak yatim. 'Illatnya ialah sama-sama menghabiskan harta anak yatim. Memakan harta anak yatim haram hukumnya berdasarkan firman Allah SWT:



Artinya:

"Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara aniaya, ia tidak lain hanyalah menelan api neraka ke dalam perutnya." (an-Nisâ': 10)

Karena itu ditetapkan pulalah haram hukumnya menjual harta anak yatim. Dari kedua peristiwa ini nampak bahwa hukum yang ditetapkan pada ashal sama pantasnya dengan hukum yang ditetapkan pada fara'.

2. Qiyas khafi

Ialah qiyas yang 'ilIatnya mungkin dijadikan 'illat dan mungkin pula tidak dijadikan 'illat, seperti mengqiyaskan sisa minuman burung kepada sisa minuman binatang buas. "IlIatnya ialah kedua binatang itu sama-sama minum dengan mulutnya, sehingga air liurnya bercampur dengan sisa minumannya itu. 'IlIat ini mungkin dapat digunakan untuk sisa burung buas dan mungkin pula tidak, karena mulut burung buas berbeda dengan mulut binatang buas. Mulut burung buas terdiri dari tulang atau zat tanduk. Tulang atau zat tanduk adalah suci, sedang mulut binatang buas adalah daging, daging binatang buas adalah haram, namun kedua-duanya adalah mulut, dan sisa minuman. Yang tersembunyi di sini ialah keadaan mulut burung buas yang berupa tulang atau zat tanduk.

b. Qiyas dalalah

Qiyas dalalah ialah qiyas yang 'illatnya tidak disebut, tetapi merupakan petunjuk yang menunjukkan adanya 'illat untuk menetapkan sesuatu hukum dari suatu peristiwa. Seperti harta kanak-kanak yang belum baligh, apakah wajib ditunaikan zakatnya atau tidak. Para ulama yang menetapkannya wajib mengqiyaskannya kepada harta orang yang telah baligh, karena ada petunjuk yang menyatakan 'illatnya, yaitu kedua harta itu sama-sama dapat bertambah atau berkembang. Tetapi Madzhab Hanafi, tidak mengqiyaskannya kepada orang yang telah baligh, tetapi kepada ibadah, seperti shalat, puasa dan sebagainya. Ibadah hanya diwajibkan kepada orang yang mukallaf, termasuk di dalamnya orang yang telah baligh, tetapi tidak diwajibkan kepada anak kecil (orang yang belum baligh). Karena itu anak kecil tidak wajib menunaikan zakat hartanya yang telah memenuhi syarat-syarat zakat.

c. Qiyas syibih

Qiyas syibih ialah qiyas yang fara' dapat diqiyaskan kepada dua ashal atau lebih, tetapi diambil ashal yang lebih banyak persamaannya dengan fara'. Seperti hukum merusak budak dapat diqiyaskan kepada hukum merusak orang merdeka, karena kedua-duanya adalah manusia. Tetapi dapat pula diqiyaskan kepada harta benda, karena sama-sama merupakan hak milik. Dalam hal ini budak diqiyaskan kepada harta benda karena lebih banyak persamaannya dibanding dengan diqiyaskan kepada orang merdeka. Sebagaimana harta budak dapat diperjualbelikan, diberikan kepada orang lain, diwariskan, diwakafkan dan sebagainya.